By SHIETRA - March 27, 2019
Bagai ikan yang mungkin tidak menyadari
bahwa mereka selama ini tinggal di dalam air, maka kita sendiri pun lebih perlu
mengenal kota tempat kita tinggal. Tidak mengenal, maka tidak sayang, kata
pepatah. Yuk, kita langsung nyemplung saja! ⏰⏳
Kajian perkotaan berikut ini,
KWANG kutipkan pembahasan dari Sri Palupi & Iswandi (editor), dalam
himpunan karya tulis berjudul “Studi
Perbandingan Kota dan Komunitas Miskin Antara Jakarta—Bangkok”, 2007,
Jakarta: Institute for Ecosoc Rights, dengan uraian yang cukup menarik dengan
petikan sebagai berikut: 🚥🚲
Kita bahkan perlu belajar
kembali. Dulu, kita ketahui, banyak bangsa dan kota Asia Tenggara belajar dari
Indonesia. Sekarang kita tahu juga, banyak bangsa dan kota Asia Tenggara telah
lebih maju daripada kita. Ini suatu pelajaran penting bagi bangsa yang korup,
malas bekerja tekun, pencari jalan pintas, tidak pandai berkoordinasi.
Tapi kita bukan hanya perlu
belajar, melainkan juga (terutama) bertindak berubah berdasarkan pelajaran itu.
Berubah dan belajar memang adalah dua hal yang berbeda. Awal dari perubahan
adalah keinginan untuk belajar. Sedang akhir dari belajar adalah keharusan
untuk berubah.
*** Dewi Susanti dan Sri Palupi
***
Gerakan civil society di
Thailand tidak terlepas dari pengaruh Agama Buddha. Seperti ditegaskan oleh
Missingham yang merujuk pada Tanabe (1984), bahwa pemikiran Agama Buddha sangat
mempengaruhi pandangan terhadap hak-hak bermasyarakat, antara lain: “... ide
tentang milenarianismo, kesadaran tentang perbedaan etnis, dan pengalaman
tentang penekanan dan eksploitasi yang juga memberikan motivasi ideologis untuk
melakukan perlawanan terorganisir.” (Missingham, 2003: 21)
Penyatuan berbagai kelompok
dalam suatu gerakan juga didukung adanya masalah lingkungan yang menjadi
ideologi penyatu berbagai kelas dan kelompok sosial yang memiliki
ketertarikan yang berbeda dalam melakukan kampanye dan protes. (Missingham,
2003: 32).
Pandangan ini diperkuat oleh
situs Thai Law Forum (2007) yang menyatakan bahwa dalam Agama Buddha
terdapat ide tentang ahimsa, yaitu prinsip untuk tidak melukai
makhluk hidup. Prinsip ini lahir dari sebuah tenggang rasa terhadap
semua kehidupan melalui proses kelahiran kembali (reborn / rebirt). Dengan
kata lain, ada kewajiban setiap orang untuk melindungi lingkungannya
melewati batas perbedaan budaya, agama, dan etika.
Dari seluruh gambaran tentang
Bangkok, dapatlah kita hayati peran serta warga dalam menentukan arah
perkembangan kota dan merencanakan lingkungan hidupnya sendiri bukanlah
hadiah yang diberikan secara cuma-cuma oleh penguasa, melainkan hasil
perjuangan bersama dari berbagai unsur masyarakat yang berpihak kepada
masyarakat miskin.
Bangkok menjadi seperti
sekarang karena kuatnya gerakan masyarakat warganya dan adanya keterkaitan
antar kelompok masyarakat yang berbeda, yang disatukan oleh spirit yang
sama dalam melihat ruang, kota, dan masyarakat miskin.
Kondisi tersebut tidak terlepas
dari karakter masyarakat Bangkok yang relatif homogen, dan kuatnya pengaruh
Agama Buddha dalam membentuk visi pemerintah dan masyarakat dalam memandang dan
memperlakukan masyarakat miskin. Visi itulah yang menggerakkan para pemangku
kepentingan untuk menyelesaikan masalah dengan pendekatan win-win solution.
Kuatnya gerakan masyarakat
warga dan keterkaitan antar-kelompok masyarakat tampaknya berakar pada sejarah
panjang pertahanan dan perjuangan bersama masyarakat desa Thailand maupun
pertumbuhan aktivitas politik kelas menegah pada tahun 1970-an.
Dengan visi dan program
kerjanya pemerintah Bangkok berupaya untuk menempatkan warga sebagai jantung
kehidupan kota. Meski secara hukum pemerintah berupaya untuk memperluas
partisipasi publik dalam perencanaan kota, namun upaya tersebut belum
sepenuhnya bisa diwujudkan.
Masih saja ada retorika di
tengah upaya. Namun demikian, masyarakat Bangkok tidak terbelenggu oleh ada
atau tidak adanya aturan tentang partisipasi. Di antara aturan-aturan ketat
yang membatasi partisipasi, tetap ditemukan adanya ruang-ruang negosiasi.
Sebaliknya, di tengah
ketiadaan peraturan, selalu ada terobosan dan kemungkinan. Spirit
sebagai warga merdeka di tanah merdeka begitu kental menjiwai gerak masyarakat
Bangkok dalam mengkritisi kebijakan pemerintah dan dalam mengupayakan
perubahan.
*** Reslian Pardede ***
Program pembangunan bagi
komunitas miskin oleh pemerintah Thailand, yang diberi nama “Baan Mankong”,
menempatkan isu perumahan bagi komunitas miskin kota sebagai persoalan
struktural yang hanya dapat diatasi melalui kemitraan berbagai pihak yang
terkait dengan persoalan kota.
Dengan menciptakan ruang bagi
komunitas miskin, pemerintah / politisi lokal, profesional, dan NGO untuk
secara bersama melihat seluruh persoalan perumahan di kota, Baan Mankong
menciptakan perubahan dalam mengatasi persoalan perumahan bagi kaum miskin.
Solusi atas masalah perumahan
bagi kaum miskin tidak lagi dilihat sebagai masalah karitatif atau hal
memalukan yang pantas disembunyikan di bawah karpet. Masalah rumah bagi kaum
miskin ditempatkan sebagai masalah struktural yang dapat dipecahkan dan yang
terkait dengan perkembangan kota secara keseluruhan.
Baan Mankong menciptakan ruang
bagi komunitas miskin untuk membangkitkan kembali partisipasi warga dalam
pengembangan kota yang selama ini telah lumpuh dilindas liberalisasi ekonomi.
Ketika komunitas miskin membaharui dirinya sendiri dan kerja mereka diakui oleh
seluruh stakeholder kota, peremajaan itu menjadi sebuah proses yang
melegitimasi status mereka sebagai bagian penting dari kota dan sekaligus
membuktikan kapabilitas komunitas miskin sebagai partner stakeholder kota
lainnya dalam mengelola masalah serius yang mempengaruhi kota secara
keseluruhan: bukan hanya perumahan tetapi juga lingkungan, air, sampah, dan
kesenjangan sosial.
Selama ini liberalisasi ekonomi
dan sistem pemerintahan yang “top-down” mereka anggap telah membungkam suara warga
sedemikian rupa sehingga untuk berbicara lingkungannya sendiri mereka tak punya
hak.
*** Suryono Herlambang ***
Cormick (1979) membedakan peran
serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berdasarkan sifatnya, yaitu
yang bersifat konsultatif dan kemitraan.
Dalam peran serta masyarakat
dengan pola hubungan konsultatif, antara pihak pejabat pengambil keputusan
dengan kelompok masyarakat yang berkepentingan, anggota-anggota masyarakatnya
mempunyai hak untuk didengar pendapatnya dan diberitahu, dimana keputusan
terakhir tetap berada di tangan pejabat pembuat keputusan tersebut.
Sedang dalam konteks peran
serta masyarakat yang bersifat kemitraan, pejabat pembuat keputusan dan
anggota-anggota masyarakat merupakan mitra yang relatif sejajar kedudukannya.
Mereka bersama-sama membahas masalah, mencari alternatif pemecahan masalah dan
membahas keputusan.
Ternyata masih banyak yang
memandang peran serta masyarakat semata-mata sebagai penyampaian informasi
(public information), penyuluhan, bahkan sekadar alat “public relation’ agar
proyek tersebut dapat berjalan tanpa hambatan. Karenanya, peran serta
masyarakat tidak saja digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan, tetapi
juga digunakan sebagai tujuan (participation is an end itself).
Fungsi dan Ideologi. Di
sampaing persepsi yang dikemukakan Carter (1977), Cormick (1979), Goulet
(1989), dan Wingert (1979), merinci peran serta masyarakat sebagai berikut:
- Peran serta masyarakat
sebagai suatu kebijakan. Penganut paham ini berpendapat, peran serta
masyarakat merupakan suatu kebijakan yang tepat dan baik untuk dilaksanakan.
Paham ini dilandasi oleh suatu pemahaman, masyarakat yang potensial
dikorbankan atau terkorbankan oleh suatu proyek pembangunan memiliki hak untuk
dikonsultasikan (right to be consulted).
- Peran serta masyarakat
dalam strategi. Penganut paham ini mendalilkan peran serta masyarakat
merupakan strategi untuk mendapatkan dukungan masyarakat (public support).
Pendapat ini didasarkan kepada suatu paham bila masyarakat merasa memiliki
akses terhadap pengambilan keputusan dan kepedulian masyarakat kepada pada tiap
tingkatan pengambilan keputusan didokumentasikan dengan baik, maka keputusan
tersebut akan memiliki kredibilitas.
- Peran serta masyarakat
sebagai alat komunikasi. Peran serta masyarakat didaya-gunakan sebagai alat
mendapatkan masukan berupa informasi dalam proses pengambilan keputusan. Persepsi
ini dilandasi suatu pemikiran, pemerintah dirancang untuk melayani masyarakat,
sehingga pandangan dan preferensi dari masyarakat tersebut menjadi masukan yang
bernilai guna mewujudkan keputusan yang responsif.
- Peran serta masyarakat
sebagai alat penyelesaian sengketa. Dalam konteks ini peran serta
masyarakat didaya-gunakan sebagai suatu cara untuk mengurangi atau meredakan
konflik melalui usaha pencapaian konsensus dari pendapat-pendapat yang ada.
Asumsi yang melandasi persepsi ini adalah bertukar pikiran dan pandangan dapat
meningkatkan saling pengertian dan toleransi serta mengurangi rasa ketidak-percayaan
(miss-trust) dan kerancuan (bias).
- Peran serta masyarakat
sebagai terapi. Menurut persepsi ini, peran serta masyarakat dilakukan
sebagai upaya untuk “mengobati” masalah-masalah psikologis masyarakat seperti
halnya perasaan ketidak-berdayaan (sense of powerlessness), tidak percaya diri
dan perasaan diri mereka bukan komponen penting dalam masyarakat.
Dari sudut teori politik,
terdapat dua paham teori, yaitu teori Participatory Democracy, yang menggugat
paham teori Elite Democracy (Gibson, 1981). Paham Elite Democracy melihat
hakikat manusia sebagai mahkluk yang mementingkan diri sendiri, pemburu kepuasan
diri pribadi dan menjadi tidak rasional terutama jika mereka dalam kelompok.
Karena itu, dalam hal terjadi
konflik kepentingan antara kelompok-kelompok dalam masyarakat, pembuatan
keputusan sepenuhnya merupakan kewenangan dari kelompok elite yang menjalankan
pemerintahan. Kalaupun peran serta masyarakat itu ada, pelaksaannya hanya
terjadi pada saat pemilihan umum mereka-mereka yang duduk dalam pemerintahan.
Paham Participatory Democracy
sebaliknya berpendapat manusia pada hakekatnya mampu menyelaraskan kepentingan
pribadi dengan kepentingan sosial. Penyelarasan kedua macam kepentingan
tersebut dapat terwujud jika proses pengambilan keputusan menyediakan
kesempatan seluas-luasnya kepada mereka untuk mengungkapkan kepentingan dan
pandangan mereka.
Proses pengambilan keputusan,
yang menyediakan kelompok kepentingan untuk berperan serta di dalamnya, dapat
mengantarkan kelompok-kelompok yang berbeda kepentingan mereka satu sama lain.
Dengan demikian, perbedaan kepentingan dapat dijembatani.
Tingkatan dalam Peran Serta
Masyarakat. Dari sudut kemampuan masyarakat untuk mempengaruhi proses
pengambilan keputuasn, terdapat tingkatannya sendiri-sendiri. Arnstein (1969)
menformulasikan peran serta masyarakat sebagai bentuk dari kekuatan rakyat
(citizen partisipation is citizen power), dimana terjadi pembagian kekuatan
(power) yang memungkinkan masyarakat yang tidak berpunya (the have-not
citizens) yang sekarang dikucilkan dari proses politik dan ekonomi untuk
terlibat kelak.
Peran serta masyarakat—menurut
Arnstein—adalah bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam perubahan sosial yang
memungkinkan mereka mendapatkan bagian keuntungan dari kelompok yang
berpengaruh.
Lewat tipologinya yang dikenal
dengan “Delapan tangga peran-serta masyarakat” (Eight ungs on the Ladder of
Citizen Participation), Arnstein menjabarkan peran-serta masyarakat didasarkan
pada kekuatan masyarakat untuk menentukan suatu produk akhir.
Arnstein juga menekankan
terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara bentuk peran serta yang bersifat
upacara semu (empty ritual) dengan bentuk peran-serta yang mempunyai kekuatan
nyata (real power) yang diperlukan untuk mempengaruhi hasil akhir dari suatu
proses.
Dua tangga terbawah
dikategorikan sebagai “non-peran serta”, dengan menempatkan bentuk-bentuk peran
serta yang dinamakan (tangga 1) terapi dan (tangga 2) manipulasi.
Sasaran dari kedua bentuk ini adalah untuk “mendidik” dan “mengobati” masyarakat
yang berperan serta.
Tangga ketiga, keempat, dan
kelima dikategorikan sebagai tingkat “tokenisme”, yaitu suatu tingkat peran
serta dimana masyarakat didengar dan diperkenankan berpendapat, tetapi mereka
tidak memiliki jaminan pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang
keputusan.
Menurut Arnstein, jika peran
serta hanya dibatasi pada tingkatan ini, maka kecil kemungkinannya ada upaya
perubahan dalam masyarakat menuju keadaan yang lebih baik. Termasuk dalam
tingkat “tokenisme” adalah (tangga 3) penyampaian informasi (informing);
(tangga 4) konsultasi; dan (tangga 5) peredaman kemarahan
(placation).
Selanjutnya Arnstein
mengkategorikan tiga tangga teratas ke dalam tingkat “kekuasaan masyarakat”
(citizen power). Masyarakat dalam tingkatan ini memiliki pengaruh dalam proses
pengambilan keputusan dengan menjalankan (tangga 6) kemitraan
(partnership) dengan memiliki kemampuan tawar-menawar bersama-sama pengusaha
atau pada tingkatan yang lebih tinggi; (tangga 7) pendelegasian kekuasaan
(delegated power) dan; (tangga 8) pengawasan masyarakat (citizen
control).
Pada tinggat ketujuh dan
kedelapan, masyarakat (non-elite) memiliki mayoritas suara dalam proses
pengambilan keputusan-keputusan, bahkan sangat mungkin memiliki kewenangan
penuh mengelola suatu objek kebijakan tertentu.
Delapan tangga peran serta dari
Arnstein ini memberikan pemahaman kepada kita, terdapat potensi yang sangat
besar untuk memanipulasi program peran-serta masyarakat menjadi suatu cara yang
mengelabui (devious method) dan mengurangi kemampuan masyarakat untuk
mempengaruhi proses pengambilan keputusan.
Kelemahan Peran-Serta
Masyarakat. Kelemahan dari peran serta masyarakat menurut Canter (1977),
termasuk kebingungan masyarakat akan isu yang ditelaah, semenjak banyak
perspektif baru akan diketengahkan. Hasil peran serta yang belum menentu,
risiko kemungkinan penundaan proyek bahkan peningkatan biaya (cost) dari proyek
tersebut.
Masalah utamanya adalah
kecenderungan masyarakat untuk kehilangan gairah selama masa pengembangan
proyek yang cukup lama. Masyarakat, berbeda dengan kelompok yang mempunyai
kepentingan tertentu, tidaklah dapat terus-menerus melakukan kegiatan secara
aktif dalam periode yang lama.
Karena itu, jika peran serta
masyarakat tidak secara hati-hati dilakukan, itu akan menimbulkan perasaan
skeptis di antara masyarakat ketimbang memberikan informasi yang berguna bagi
mereka. Masyarakat akan berpikir para petugas tidak mampu, tidak jujur, atau
hanya bersikap terlalu teknis.
Sejajar dengan itu, para
petugas juga merasa masyarakat tidak mampu diberi informasi lagi, tidak mau
bekerja sama, dan semata-mata hendak mengacaukan kemajuan yang akan dicapai.
Juga akan sulit untuk
menentukan siapa yang akan jadi wakil masyarakat dalam proses (bahkan bisa jadi suara mereka saling terpecah antar kepentingan yang
berbeda di tengah-tengah masyarakat itu sendiri, sehingga tarik-menarik
kepentingan demikian justru memperkeruh keadaan).
Keberhasilan untuk menentukan
“masyarakat” yang tepat sangat tergantung akan desain program “penyertaan”.
Dengar pendapat misalnya, karena hanya mereka yang vokal dan terorganisir
dengan baik yang dapat menyampaikan pendapatnya.
O’Riordan (1981) melihat banyak
desain peran serta masyarakat tidak melibatkan komitmen politik, sehingga
kekuasaan pengambilan keputusan tetap berada di tangan sektor administratif.
Apalagi, jika nilai peran serta
masyarakat adalah sebagai alat perubahan sosial dan menciptakan kesejajaran
dalam politik. Dalam konteks ini, peran serta masyarakat akan banyak mendapat
tantangan dan kecurigaan dari pemegang kekuasaan.
Sementara itu, Santosa (1990)
menambahkan, peran serta masyarakat dapat berarti kooptasi bagi pihak
“oposisi”. Tidak jarang terjadi, program peran serta masyarakat memang
didesain untuk “menggiring” masyarakat agar setuju dengan pendapat pengambil
keputusan atau sang pemrakarsa kegiatan.
Pada pertengahan tahun 2007,
DPR RI mengesahkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
yang merupakan revisi dari UU No. 24/1992. Terlepas dari pro-kontra yang
terjadi selama masa pembahasan substansi, UU No. 26/2007 berupaya menangkap aspirasi
masyarakat akan berbagai permasalahan dan kritik yang terkait dengan praktik
peran serta masyarakat yang didasari oleh UU dan Peraturan Pemerintah
sebelumnya.
UU ini secara jelas menyuratkan
dukungan pembaruan dan perluasan konsep peran serta masyarakat dalam proses
penataan ruang. Hak masyarakat diperluas tidak hanya untuk mengetahui dan
mengajukan keberatan saja, tetapi juga mengajukan tuntutan pembatalan ijin dan
penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
Pasal tuntutan pembatalan izin
dan penghentian pembangunan diharapkan mampu memperkuat posisi masyarakat
ketika terjadi konflik dengan pemerintah DKI atau pengembang swasta. Pasal ini
juga diharapkan akan meredam tindakan penggusuran paksa.
Pada berbagai kasus konflik
pertanahan, posisi warga selalu lemah ketika berhadapan dengan proses
penggusuran paksa, walaupun pada kenyataannya pengembang swasta atau
pemerintah DKI yang menggusur mereka juga melakukan pelanggaran rencana tata
ruang.
Rincian pasal-pasal yang
terkait, antar lain: Bab III: Hak, Kewajiban dan Peran Masyarakat. Pasal 60:
“Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk:
d. mengajukan keberatan kepada
pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang di wilayahnya;
e. mengajukan tuntutan
pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana
tata ruang kepada pejabat berwenang, dan;
f. mengajukan gugatan
ganti-kerugian kepada pemerintah dan atau pemegang izin apabila kegiatan
pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.
Berbagai peraturan diterbitkan,
namun kenyataannya di lapangan masih memperlihatkan kesenjangan yang tajam baik
dalam persepsi maupun praktik (implementasinya masih jauh ‘panggang dari api’).
Pertanyaan yang muncul adalah
apa kelemahan berbagai peraturan yang berlaku saat ini, baik tingkat nasional
maupun lokal, sehingga belum cukup kuat mendukung kemajuan konsep dan praktik
peran serta masyarakat.
*** Sri Palupi ***
Membangun kota yang bersih
berarti memerangi kekumuhan. Sampai pada titik ini, tidak ada jarak berarti
antara Jakarta—Bangkok. Keduanya sama-sama memerangi kekumuhan. Yang
membedakan, adalah caranya.
Cara memerangi kekumuhan
disandarkan pada paradigma yang sangat berbeda antara Jakarta—Bangkok. Jakarta
memerangi kekumuhan dengan mengusir kaum miskin, lewat beragam cara. Mulai
dari penelantaran / pengabaian, penggusuran, pembakaran, sampai operasi
yustisi.
Sebab bagi pemerintah Jakarta,
kaum miskin dipandang tidak punya kontribusi bagi pengembangan kota. Bahkan
lebih dari itu, kaum miskin diposisikan sebagai beban.
Cara pandang demikian ini bisa
dibaca dari sikap dan tindakan Pemprov DKI dalam melihat persoalan kemiskinan:
- “Sebagai gubernur saya malu
pada orang asing yang datang ke Jakarta. Setelah keluar dari bandara, mereka
langsung disuguhi pemandangan kumuh di wilayah banjir kanal. Pemda DKI sendiri mengemban
amanat untuk menciptakan ibukota yang tertib, aman, nyaman, bersih dan indah,
sehingga Jakarta representatif sebagai ibukota. Namun Pemda DKI menghadapi
kendala urbanisasi yang tidak terbendung dan banyaknya PMKS (Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial) yang melanggar Perda 11/1988. Untuk itu Pemda memilih
upaya penegakan hukum.” (Pernyataan Gubernur Sutiyoso dalam pertemuan dengan
Komisi II DPR RI membahas penggusuran pemukiman miskin tanggal 7 Februari
2002).
- “Pembakaran atau bumi
hangus merupakan salah satu taktik dalam operasi penertiban bangunan liar
seperti bantaran sungai. Dalam keadaan terpaksa, pembakaran bangunan
ditempuh untuk memudahkan operasi membongkar.” (Kasudin Trantib Jakarta
Utara, Toni Budiono, Kompas, 21 November 2001.)
- “Program peremajaan
lingkungan kumuh menjadi rumah susun, gedung pusat perkatoran dan sentra
bisnis, telah berhasil mengurangi jumlah penduduk Jakarta Pusat dalam enam
tahun terakhir.” (Walikota Jakarta Pusat, Abdul Kahfi, Kompas, 29 April 1996.)
Di Bangkok, kaum miskin punya
pengalaman yang berbeda. Pemerintah Bangkok melihat komunitas miskin sebagai
aktor yang punya andil bagi pengembangan kota.
Andai tidak ada kelompok miskin
kota—yang selama ini menyediakan buruh murah dan makanan murah, biaya hidup di
Bangkok akan sangatlah mahal. Kesadaran semacam inilah yang dihayati pemerintah
Bangkok dan civil society-nya.
Persoalan kekumuhan mereka
pandang sebagai dampak dari minimnya infrastruktur, pelayanan dan jaminan
keamanan di ruang-ruang marjinal yang menjadi hunian bagi komunitas miskin.
Artinya, kekumuhan terjadi
bukan karena kemauan atau kesalahan mereka yang miskin, tetapi karena dampak
kebijakan yang kurang berpihak pada yang lemah. Dengan sudut pandang
seperti itu, solusi atas masalah kekumuhan tidak lagi menempatkan kaum miskin
sebagai “sumber masalah” atau “sampah” yang pantas disingkirkan, melainkan sebagai
bagian dari pengembangan kota.
Selain itu, upaya mengatasi
masalah kemiskinan di kota juga mereka padukan dengan upaya mengatasi
kemiskinan di pedesaan. Dengan cara inilah pemerintah Thai / Bangkok
menghindari atau setidaknya mengurangi urbanisasi.
Dalam menghadapi persoalan
kemiskinan, Jakarta terasa jauh jaraknya dari Bangkok. Ini bisa dinilai dari
visi kedua kota itu. Bangkok memiliki spirit untuk memberdayakan masyarakatnya,
khususnya yang miskin. Warga lebih ditempatkan sebagai jantung kehidupan
kota.
Sementara pengembangan Jakarta lebih
berjiwa menggemukkan kota dan cenderung meninggalkan warganya, terutama yang
miskin. Dari visi pengembangan Jakarta tidak nampak adanya kepedulian eksplisit
Jakarta pada warganya yang miskin. Dalam praktik, visi pengembangan kota
Jakarta cenderung hanya menjadi jargon dan “slogan pemanis bibir” ataupun “gimmick
guna membodohi rakyatnya sendiri”.
Kepedulian Bangkok terhadap
kaum miskin selain terlihat dari upaya pemerintahnya dalam nenangani pemukiman
miskin, juga tampak dari kebijakan pemerintah terhadap PKL. Meskipun pemerintah
Bangkok banyak melakukan penataan dan pengaturan terhadap PKL, pemerintah
Bangkok tetap memberikan alokasi ruang bagi PKL.
Alokasi ruang ini dari tahun ke
tahun semakin bertambah. Sebab Bangkok mengakui kontribusi ekonomi informal
terhadap ekonomi kota secara keseluruhan, sementara Jakarta belum mengakui
peran dan kontribusi ekonomi informal.
Dari sisi peraturannya sendiri,
tidak nampak adanya perbedaan berarti antara Jakarta dan Bangkok. Keduanya
punya kecenderungan untuk memperketat aturan terhadap PKL. Bedanya, ketatnya
peraturan di Bangkok masih bisa dikalahkan oleh kepedulian masyarakatnya
terhadap PKL.
Bagi Bangkok, PKL adalah bagian
dari kebudayaan masyarakat, sehingga tidak mudah bagi pemerintah Kota Bangkok
untuk begitu saja menabuh genderang peperangan melawan PKL. Selalu saja ada
protes dan pembelaan dari masyarakat.
Sulit dibayangkan di Jakarta
ini akademisi bisa bekerja sama, bergaul dan tidak segan turun ke jalan untuk
mendukung perjuangan komunitas miskin. masih ada akademisi di Jakarta ini yang
melihat persoalan kemiskinan lebih sebagai benturan “kepentingan” dan bukan
persoalan bangsa.
Karena itu akademisi yang
berpandangan seperti ini lebih memilih bersikap netral terhadap masalah yang
melibatkan kaum miskin. Mereka tidak menyadari dengan bersikap netral secara
tidak langsung mereka memberi kekuatan pada yang kuat.
Jangankan terhadap persoalan
komunitas miskin, terhadap persoalan kota yang menyangkut kepentingan publik,
seperti kemacetan, kesemrawutan, pemagaran taman, penyelewengan tata ruang,
komersialisasi lahan dan ruang, tidak banyak akademisi dan kelompok profesi
yang mau bersuara, apalagi membangun jaringan perlawanan.
Masyarakat warga (civil
society) di Jakarta ini demikian lemahnya, hingga bisa dipahami kalau Jakarta
menjadi seperti sekarang. Pengembangan kota Jakarta ini sepenuhnya ditentukan
dan diserahkan pada penguasa (politik dan pemilik modal). Sebab warganya
terfragmentasi, mudah diperdaya karena memang kurang berdaya.
Lemahnya “civil society” di
Jakarta, selain karena minimnya kesadaran dan kepedulian akan hidup bersama
sebagai komunitas kota, sistem politik dan birokrasi pemerintahannya pun
membuat masyarakat warga tidak berdaya.
Warga terfragmentasi dalam
kelas-kelas sosial yang demikian berjarak satu dengan lainnya. Sistem
politik lebih mendorong terbentuknya massa mengambang, tidak mendukung
warga untuk mengorganisir diri dan membangun aliansi bersama kelompok warga
lainnya.
Hal sebaliknya terjadi di
Bangkok. Sistem politik dan pemerintahan Bangkok lebih memberi peluang dan
bahkan mendorong warganya untuk mengorganisir diri serta membangun aliansi. Ini
setidaknya tampak dari adanya kebijakan memberi fasilitas dana dukungan bagi
pengembangan organisasi komunitas.
Komunitas miskin yang telah
mengorganisir diri, mendaftarkan komunitasn pada pihak pemerintah Bangkok akan
memperoleh status sebagai komunitas formal. Dengan status formal ini, komunitas
akan mendapat fasilitas dalam bentuk dana bantuan bagi pengembangan organisasi
komunitas.
Selain itu, pada program Baan
Mankong kita juga bisa melihat adanya peluang bagi komunitas miskin, akademisi,
kelompok profesi dan pemerintah lokal untuk bertemu dan bersama-sama
menyelesaikan masalah.
Para politisnya pun tidak bisa
dengan mudah mengobral janji dan menjadikan kaum miskin hanya sebagai alat
untuk meraih suara. Sebab para politisi disana terikat dengan komunitas. Mereka punya basis dan mengenal konstituennya, di samping konstituennya
itu sendiri juga kritis dan tidak mudah dibodohi. Pada akhirnya kontrol
terhadap kinerja pemerintah dan para politisinya lebih berjalan di Bangkok.
*** J. E. Julianery ***
Menurut (mantan) Gubernur
Sutiyoso, pengendalian banjir di hilir tidak akan efektif bila tidak dibarengi
dengan penyediaan situ-situ untuk menampung air sementara.
Dia berkata, “Apa yang
dilakukan DKI akan berhasil bila di bagian hulu, di Bogor, dibangun waduk untuk
penampungan sementara air. Sayangnya, kita nggak bisa meminta Pemerintah
Kabupaten Bogor untuk membangun waduk. Dulu kita pernah mau membeli tanah di
sana. Mau kita bangun untuk waduk. Dananya dari APBD. Tapi, dana APBD tidak
boleh dipakai untuk membangun di luar wilayah administrasi. Dana itu harus kita
hibahkan ke pemerintah Kabupaten Bogor. Tapi, karena nggak ada jaminan dana itu
akan digunakan untuk membangun waduk, rencana itu tidak berlanjut.”
Rencana pembuatan waduk sebagai
penampung air di daerah Bogor seperti yang dikemukakan Gubernur Sutiyoso, juga
dijelaskan Kepala DPU DKI Jakarta, Wishnu Subagjo Jusuf, dalam diskusi terbatas
yang diadakan redaksi harian Kompas tanggal 18 Januari 2007.
Dalam diskusi, Wishnu antara
lain menyatakan, “Setelah pembuatan interkoneksi Ciliwung ke Cisadane gagal,
maka ada rencana lain yaitu menahan aliran di hulu dengan membangun Waduk
Ciawi. Untuk ini diperlukan lahan sekitar 200 hektar. Kalau harga tanah di sana
itu, misalnya masih sekitar Rp. 100.000, maka untuk membebaskan 200 hektar ini
dananya hanya kira-kira Rp. 200 miliar. Untuk Jakarta, saya kira ini terlalu
sedikit... Program awalnya, tahun 2005 kita lakukan koordinasi dengan daerah
hulu, kemudian 2006—2007 adalah pembebasan tanah, 2008-2009 mulai dilakukan
konstruksi, tapi sampai dengan akhir 2006 kami belum bisa melaksanakan
pembebasan tanah karena memang masih terkendala soal aturan. APBD DKI tidak
bisa digunakan untuk ke luar daerah. Bisa dilakukan kalau anggaran itu menjadi
dana hibah, tapi apa yang terjadi bila hibah yang disampaikan kepada daerah
lain itu lalu digunakan untuk kepentingan lain. Nah, ini kan juga sebuah
persoalan.”
*** F. Budi Hardiman ***
Kita sudah saatnya mengubah
pemahaman yang sempit selama ini dalam memandang sebuah peradaban. Peradaban
bukanlah sekadar pencapaian-pencapaian teknis-material suatu kelompok manusia
untuk menaklukkan alam, sebagaimana tampak dalam industri, teknologi, dan
ekonomi kapitalis.
Lebih daripada itu, peradaban
adalah pencapaian-pencapaian sosial-moral suatu kelompok manusia untuk
mengorganisasikan diri mereka sebagai warga demi hidup yang baik. Dalam
kenyataan, sehat dan sakitnya atau bahkan mati dan bangkitnya sebuah kota lebih
banyak ditentukan oleh tumbuh dan sirnanya semangat kebersamaan yang menopang
denyut kota itu sebagai ruang ko-eksistensi.
Sebuah kota tumbuh sehat jika ruang fisiknya tumbuh
bersamaan dengan ruang sosialnya. Artinya, pertumbuhan
arsitektural, seperti gedung-gedung, jalan-jalan, sanitasi, pasar, dst,
berjalan bersama dengan proses pemberadaban para pemukimnya.
‘Beradab’ bukan hanya dalam
arti memiliki lifestyle dan penampilan modern atau sekadar mengikuti tren
globalisasi, melainkan lebih dalam arti memiliki sikap dan perilaku manusiawi
satu sama lain sehingga setiap pemukim di dalamnya dapat merasa sebagai warga
dan tidak perlu merasa takut satu sama lain.
Kita semua sedang dibuat
gelisah dengan kenyataan Jakarta. Ruang fisik kota ini memang tumbuh pesat dan
bahkan nyaris tanpa kendali diseret oleh kekuatan-kekuatan pasar dan modal,
sementara ruang sosialnya tidak mendapat peluang untuk tumbuh.
Pandanglah, bagaimana
pusat-pusat komersial, seperti mall, ITC, hypermarket, junction, dst, bermunculan,
kadang dengan menggusur pemukiman-pemukiman, sementara pusat-pusat sejarah dan
budaya, seperti museum, perpustakaan, galeri, gedung konser, wilayah kota lama,
dst, dibiarkan mati terlantar seperti juga matinya ruang-ruang publik tempat
warga berbincang.
Dahaga untuk memiliki atau
–meminjam istilah J. F. Lyotard—“ekonomi libidinal” ini dibiarkan mengikis
habis memori dan perasaan-perasaan halus para pemukimnya yang dalam
peradaban-peradaban tinggi justru dipelihara lewat pusat-pusat sejarah dan budaya.
Dari ketimpangan yang menusuk
mata ini kita tahu, Jakarta meminati modal dan kepentingan para pemiliknya,
bukan manusia konkrit, apalagi yang kalah dalam kompetisi bisnis.
Tengoklah bagaimana perasaan
menjadi manusia di kota yang “bengkak”, alih-alih bertumbuh, ini: di
tengah-tengah hutan beton-beton pencakar langit di pusatnya dan deru banjir
harian kaleng-kaleng di jalan-jalannya, manusia bisa berubah menjadi non-sense,
karena “kita warga” tidak pernah berdaulat melampaui “aku pemburu rupiah”.
Pada gilirannya sang “aku” itu
pun menjadi menggelembung sebesar rupiahnya sampai meletup menjadi “non-sense” bersama
raibnya nilai kertas itu oleh inflasi.
Logika modal dan pertarungan
kuasa telah menjadikan para pemukim kota ini “gerilyawan-gerilyawan moneter”.
Dalam belantara bisnis dengan aturan harian “atau memangsa atau dimangsa itu,
yang tergilas dan tertindas bertanya lirih penuh kecemasan “makan apa besok?”,
sementara para penggilas dan predator dengan penuh gairah mengelus dompetnya
sambil bertanya “makan siapa lagi besok?”. Gairah predator seperti ini
patologis, tapi tak seorang pun mau menyadarinya karena sudah dianggap sebagai
bagian kelaziman metropolis.
Isyarat Kematian Sosial. Di
antara mereka yang kalah itu, terpuruk dalam kemiskinan. Di kota ini, kaum
miskin dilihat sebagai sumber masalah, karena kemiskinan—oleh mereka yang
menang dalam pertarungan bisnis itu—disejajarkan dengan kekumuhan atau bahkan
kurangnya peradaban.
Para pengemis, anak jalanan,
pedagang asongan, pemilik lapak kaki lima, pemulung, dst, adalah coretan yang
dianggap tidak sedap dipandang dalam lukisan surealistis Jakarta yang tidak
pernah selesai. Mulai dari banjir tahunan sampai kemacetan jalan yang mendera
kota ini dengan berbagai masalah sosial dan ekonomis para pemukimnya,
sebagaimana menurut Sri Palupi, kaum miskin ini diposisikan sebagai kambing-hitam
segala persoalan kota.
Juga dalam era reformasi yang
mau menjunjung hak-hak asasi manusia dan demokrasi ini, masih menurut Sri
Palupi, pemukiman tempat koeksistensi mereka digusur dan dibakar; mereka
sendiri diabaikan dan diusir dari tempat mereka berakar dan berbagi sebagai
komunitas selama puluhan tahun. Semua dilakukan agar Jakarta tampak bersih dan
beradab. Namun semua itu juga paradoksal: Kehendak untuk memberadabkan kota
dipraktikkan dengan cara-cara kurang beradab. Kaum miskin tidak dianggap
memberi andil bagi pengembangan kota, maka yang tidak berguna ini harus
disingkirkan.
Tanpa memukul genderang perang,
seperti dikatakan Simmel, kebijakan kota telah memperlakukan mereka itu sebagai
“musuh internal”. Dan akhir-akhir ini, di bawah sorot mata ideologi pasar
bebas, “kemiskinan” malah dilihat sebagai konsep sentimental yang keliru, maka ingin
segera diganti dengan konsep yang lebih pas untuk pasar, yaitu “ketidak-mampuan
bersaing”.
Jika konsep pemberadaban tidak
kita gantungkan melulu pada pertumbuhan material-arsitektural, melainkan juga
pada pertumbuhan solidaritas semangat kewargaan di dalamnya, alasan untuk
gelisah terhadap Jakarta semakin bertambah, sebab persis dari sisi sosial ini
Jakarta mengalami keterbelakangan yang serius. Apa yang dikatakan oleh Hannah
Arendt tentang “pencerabutan” berlangsung di kota ini.
Manusia yang adalah makhluk
sosial dicerabut dari komunitasnya, dan dalam penggusuran proses pencerabutan
ini dipentaskan secara vulgar. Namun proses yang mencabik-cabik semangat
kewargaan itu hanyalah bagian dari isyarat yang lebih luas dan serius tentang
kematian sosial kota ini, sebagaimana sudah dipertunjukkan dalam tata ruangnya
yang menghimpit semua yang tidak menghasilkan uang.
Kematian sosial? Mungkin
istilah itu terdengar berlebihan. Namun apa yang bisa lebih tepat untuk
melukiskan suatu keadaan di mana kepercayaan kepada orang lain di kota ini cepat
sekali bergulir menjadi ketidak-percayaan timbal-balik, karena hukum sebagai
benteng terakhir rasa percaya itu dapat diperjual-belikan?
Dalam ketidak-percayaan
timbal-balik itu, sang “aku” gagal berjumpa dengan sang “engkau”, maka sang
“kita” juga gagal meraih dasarnya di dalam interaksi, sebab selalu diguncang
oleh rasa curiga. Problem-problem psikopatologis dari ringan sampai berat di
kota ini, dari stress sampai kegilaan, menyembuh dari kubangan
kegagalan-kegagalan membangun hubungan sosial yang sehat dalam keluarga dan
masyarakat kota.
Krisis solidaritas bermuara pada raibnya rasa aman dalam
diri individu. Kebijakan kota yang
didominasi oleh kekuasaan bisnis dengan mengorbankan solidaritas itu secara
ganjil telah membuat kita memandang sesama kita sebagai musuh.
Isyarat Kematian Individu.
Sesungguhnya tata ruang kota yang sehat menyediakan tempat-tempat untuk menemukan
akar kebersamaan kembali, misalnya: taman-taman kota, alun-alun, area
pedestrian, balai-balai pertemuan, dst. Di sana juga individu diteguhkan dan
menemukan akarnya.
Namun jika semua ini tidak
memuaskan “ekonomi libidinal” para pemodal, mereka juga tidak punya alasan
untuk mengadakan atau memeliharanya. Kegagalan dalam melihat hubungan antara
ruang arsitektural dan ruang sosial telah menyebabkan penduduk metropolis ini
tidak pernah sungguh-sungguh merasakan diri mereka sebagai warga.
Kebanyakan mereka merasa
“kebetulan” berada di kota ini, maka sedapat mungkin mengeruk untung dari kota
ini. Akan tetapi dia yang “kebetulan” berada di suatu kota tidak pernah
meng-kota dan meng-kita, karena sekalipun secara fisik berada di dalam kota
itu, secara sosial ia tetap di luarnya. Kita boleh menyebut orang seperti ini
yang memenuhi lanskap Jakarta “mentally-nomad”.
Seseorang bermental “nomaden”
mungkin memiliki rumah fisik, namun keempat dinding itu tidak membuatnya merasa
bermukim karena secara mental maupun psikis ia selalu pergi. Banyak jam hidupnya
habis di jalan yang macet.
Ia merasa bergerak dengan
kendaraannya, namun hidupnya dirasa berhenti. Setelah berjam-jam berjuang penuh
siksaan di kemacetan lalu-lintas dan bergerilya memenangkan rupiah dan diri
mereka sendiri, “nomad-mental” itu “pulang”.
Namun ia tidak pernah
sungguh-sungguh merasa pulang, karena kepulangan mengandaikan ruang sosial
untuk menemukan akar, dan ruang sosial ini mungkin juga hancur di dalam
lingkungan ketetanggaannya atau bahkan di dalam keluarganya sendiri.
Begitu sukar untuk saling
berjumpa dan berbicara untuk menyandarkan diri pada suatu kekitaan, maka dalam
kepulangannya, dia tetap “pergi”. Baru sekejap yang lalu ia raib dalam
kelelapan menuju esok, dia harus bangun untuk pergi lagi. Dan daur ritual ini
berulang, seperti untuk keabadian—atau mungkin suatu “kutukan massal” bila kita
boleh menyebutnya seperti itu.
Ada kalanya para “nomad mental”
itu merasakan kekitaan, misalnya saat mereka bersama-sama melakukan pemilihan
umum, bersama-sama menjadi korban banjir, kemacetan atau kerusuhan dan inflasi
serta kenaikan berbagai bahan kebutuhan pokok, bersama-sama membanjiri
mall-mall untuk meraup barang diskon atau tren terbaru, bersama-sama berebut
beras dan subsidi pemerintah, bersama-sama sebagai komuter di jalan-jalan
menuju kantor, dst.
Akan tetapi semua itu bukan
“kita-warga” yang terbangun dari solidaritas dan kepercayaan timbal-balik,
melainkan “kita-kerumunan” yang muncul kebetulan dari kepentingan diri dan
lenyap oleh kepentingan diri pula.
Karakter kebersamaan secara
kebetulan sebagai kerumunan yang tidak berakar dalam semangat kewargaan itu boleh
disebut “individualisme tanpa individu”.
Dalam individualisme, kebebasan
individu dihormati sebagai nilai bersama karena individu dalam pengejaran
kepentingannya memberi kontribusi kepada keseluruhan. Akan tetapi dalam individualisme tanpa individu, individu mengejar
kepentingan dirinya tanpa hormat akan kebebasan orang lain dan tanpa kontribusi
pada keseluruhan, sehingga kebebasan individu tidak pernah menjadi nilai
bersama.
Rasa tanggung-jawab pribadi
yang mencirikan individualitas individu sirna, maka dalam individualismenya,
individu menjadi hampa, dan kebebasan yang dicarinya justru menjadi begitu
sulit untuk diraihnya.
Rasa identitas sebagai “aku” tidak jatuh dari langit,
ke-aku-an itu terbangun dari nilai-nilai bersama yang menghargai individu, yaitu dari suatu kekitaan dalam hidup meng-kota. Akan tetapi jika
kekitaan ini tercabik-cabik oleh sikap saling tidak percaya, bahkan mengatakan
“aku” saja menjadi begitu lirih, sebab dalam ketidak-percayaan timbal-balik,
sang “aku” juga kehilangan dasar untuk percaya kepada dirinya sendiri.
Dalam arti ini, kematian
sosial adalah juga kematian individu. Tidaklah mengherankan bahwa
individualisme tanpa individu yang mencirikan karakter kebersamaan yang tidak
berakar dalam kewargaan ini mudah beralih menjadi “egoisme kolektif”.
Politik aliran, kerusuhan
massa, tawuran antar-preman dan vandalisme atas nama kesalehan yang melukisi
lanskap buram Jakarta adalah pembengkakan ego kelompok yang mengirim isyarat
kematian kota dalam matra sosial dan individualnya.
Politik boleh jadi mengerikan,
namun hujan ataupun tidak hujan, mendung ataupun cerah keadaan langit pada hari
ini, mood harus tetap dijaga senantiasa cerah dan gembira, sambil terus “nikmati
saja prosesnya”. 🚀🚄🚅🚃
Sama seperti hak setiap gadis
untuk menemukan impiannya untuk tampil dan hadir dengan demikian manis dan
cantiknya, untuk itu memakai asesoris anting emas imitasi impor menjadi pemanis
yang tidak dapat dihindari. 🚕🚌🚗
Seperti apapun kota tempat kita
hidup dan bertumbuh, bunga akan tetap bermekaran dengan indahnya. Tampil cantik
dan manis tidak harus mahal, cukup semudah mengenakan asesoris KWANG
EARRINGS untuk menemani keseharian Mu! 😌
Karena KWANG EARRINGS
adalah teman terbaik mu! 😊
0 comments
Ikuti juga sosial media kami pada business.facebook, dengan akun : "Expat 2 Local Thai" / @guideriana
Rincian layanan JasTip (Jasa Titip) produk Thailand, dapat dilihat pada menu "Jasa Pencarian, Jasa Titip, dan Pengiriman Produk Thailand ke Indonesia".
Rincian layanan Private Tour Guide di Bangkok-Thailand, dapat dilihat pada menu "Private Tour Guide Riana".
NOTE REDAKSI : Seluruh info kontak dalam website ini diperuntukkan khusus untuk tujuan pemesanan dan bagi pengguna jasa layanan yang kami tawarkan dalam website ini. Menghubungi kami diluar peruntukan tersebut, dimaknai sebagai menyalah-gunakan nomor / email kontak kerja profesi kami, tidak akan ditanggapi.
Mohon kesediaan menunggu sejenak bila belum ada tanggapan secara segera, karena faktor kesibukan atau karena lain sebab. Pemesanan akan kami respons sesegera yang kami mampu.
Konsumen / pengguna jasa dapat melakukan pemesanan pada nomor kontak / email yang tercantum dalam menu "HUBUNGI KAMI" atau pada rincian "contact person" di atas, bukan pada kolom komentar pada posting website.
Kami tunggu pesanan teman-teman sekalian dimana pun berada, akan kami kirimkan pesanan Anda dengan hati yang penuh kehangatan untuk Anda atau untuk buah hati dan keluarga yang Anda kasihi.
Salam hangat dari Bangkok, Thailand.
ttd
GUIDE RIANA & REMEMBERTHAI TEAM