By SHIETRA - September 12, 2019
Kita hidup pada zaman dan di
dalam sosial-kemasyarakatan yang membuat kita “serba salah”, terutama di mata
seseorang yang pandai mengkritik, alias kritikus dan kalangan komentator yang
memang lebih terampil dalam hal kritik-mengkritik ketimbang memuji hal-hal baik
dari orang lain.
Sebagai contoh, ketika kita
bersikap “silent is gold” atau tidak
mau ikut campur terhadap urusan milik orang lain dengan menghargai privasi milik
masing-masing orang, maka orang lain bisa saja menilai kita sebagai “autis”,
suatu penghakiman yang menjurus fitnah, seolah sang kritikus tahu betul isi
pikiran, segala kesukaran, dan latar-belakang hidup kita.
Sebaliknya, ketika kita baru
saja sedikit berbicara, kita akan dikatakan sebagai “cerewet”. Dengan kata
lain, berdiam diri akan disalahkan, berbicara dan bertindak pun akan tetap
dicela. Lantas, manusia semacam apakah yang patut disebut sebagai manusia
sempurna? Apakah sikap sang kritikus yang hanya pandai berkomentar demikian,
adalah sosok yang paling ideal untuk dapat disebut dan dikategorikan sebagai
manusia yang “sempurna”?
Tidak ada manusia yang sempurna di mata sorang kritikus, karenanya kita tidak pernah
perlu dan tak ada kewajiban untuk ambil hirau terhadap setiap komentar seorang
kritikus, yang hanya pandai mengkritik orang lain, namun tidak pandai untuk
mencermati, mengawasi, dan mengkontrol dirinya sendiri.
Bahkan, bisa jadi, Sang Buddha
yang sudah sempurna dan perbuatannya tidak lagi dapat dicela oleh para
bijaksana, karena memiliki karakter yang tidak bersedia meladeni pembicaraan
“tetek bengek”, oleh para kritikus tersebut akan dinilai sebagai perilaku
“sombong”. Dari kejadian ini, dapat kita nilai bahwa tidaklah penting apa isi
komentar orang lain, namun siapa yang membuat komentar tersebut.
Lucunya, mengapa masyarakat
kita tidak pernah menjadikan tabu, mencela, dan mengkritik perilaku-perilaku
tidak etis dan tidak baik seperti mencopet, merampok, menipu, berbohong,
menganiaya, seolah menjadi preman itu “keren”, menjadi anak geng itu “macho”,
menjadi tukang peras itu “kuat”, menjadi tukang tipu itu “cerdik seperti kancil
sang pencuri mentimun”, pelaku bullying
itu “punya banyak pengikut”, dan lain sebagainya.
KWANG mengenal banyak tetangga
di daerah tempat tinggal KWANG, yang notabene adalah para koruptor, dimana
sumber kekayaannya sangat diragukan berasal dari gaji yang jujur. Namun, mereka
tidak menunjukkan sikap malu terlebih takut atas sikap korup mereka. Tetangga
yang lainnya pun tidak memberikan sanksi sosial kepada para pelaku korupsi
tersebut, sekalipun sudah menjadi rahasia umum di wilayah kediaman KWANG bahwa sumber
kekayaan sang tetangga berasal dari tindakan korupsi.
Sehingga mengherankan sekali,
menjadi orang baik dan jujur, seolah “tidak keren”. Menjadi koruptor, justru
dinilai “hebat” karena memiliki rumah mewah, mobil mewah, dan banyak
pengikutnya. Orang baik, seolah selalu miskin, kalah, tersisihkan, dan
menderita. Akhirnya, menjadi orang baik-baik yang justru ditabukan oleh masyarakat
kita, sementara menjadi orang jahat justru menjadi tampak “keren” dan “bergengsi”.
Contoh lainnya, banyak kita
jumpai pemberitaan praktik kartel harga yang melibatkan pengusaha besar,
memeras rakyat dengan membuat pasokan sembako menjadi menipis di pasaran, mengakibatkan
harga jual eceran melambung tinggi sehingga membuat rakyat memekik tidak mampu
membeli kebutuhan pokok mereka dan sengsara.
Mulai dari kartel bawang,
kartel harga tiket pesawat, kartel harga ayam, dan sebagainya. Namun, tidak ada
masyarakat kita yang mengutuk para pelakunya, semata karena para pelakunya
memakai jas mewah yang mahal, berdasi, rambut tersemir, memakai sepatu
pantofel, dan mengendarai mobil mewah keluaran terbaru, serta memiliki dikelilingi
oleh banyak sekretaris cantik serta puluhan bodyguard berbadan besar dan
berkacamata hitam layaknya “man in black”.
Selera setiap orang,
berbeda-beda. Kita tidak dapat memaksakan selera kita terhadap orang lain.
Sebagai contoh, kita bisa saja menjadi kritikus yang demikian kejam, dengan
semata membuat penilaian bahwa rasa masakan suatu restoran, adalah TIDAK ENAK,
karena TERLAMPAU ASIN. Kemudian kita menyebar-luaskan kritikan “sadis” kita tersebut
ke media sosial.
Sementara itu bagi sang koki,
yang kebetulan menyukai rasa asin, tanpa rasa asin yang kuat maka masakan akan
terasa HAMBAR, menurut lidah versi milik sang koki. Lihat, soal selera tidak
dapat dipersengketakan, namun bagi dan di mata seorang kritikus, apapun akan
dicela dan dipermasalahkan.
Kita bisa juga menjadi seorang
komentator berlidah “pedas”, dengan menghakimi penampilan orang lain sebagai
“tidak modis”, “kuno”, “bajunya itu-itu saja”, “bajunya sudah luntur warnanya”,
“bajunya pasaran sekali”, “bajunya kedodoran”, “mirip gembel”, dan lain
sebagainya.
Namun, yang tidak pernah
terpikirkan oleh sang kritikus, setiap orang punya perasaan nyaman yang
berlainan sesuai karakter dan cara mereka berpenampilan dalam berpakaian.
Banyak pengusaha kaya raya yang memakai celana pendek dan sandal jepit, dan
mereka merasa nyaman-nyaman saja memakai pakaian demikian, bukan karena tidak
sanggup membeli busana modis terbaru.
Sama halnya, tidak ada gadis
yang terlampau “kurus” dan juga tidak ada gadis yang terlampau “gemuk”. Seperti
apa jugakah standar seorang gadis yang disebut bertubuh “ideal”? Apakah
memiliki bobot tubuh 55 Kilogram dapat disebut sebagai “kurus” ataukah “gemuk”?
Apakah yang disebut dengan
cantik, harus berkulit putih seperti boneka manekin dari porselen? Apakah harus
berambut panjang dan tanpa setitik pun jerawat untuk dapat disebut sebagai “cantik”?
Mengapa juga memakai standar milik orang lain, yang belum tentu cocok dengan
diri masing-masing dari kita. Murah senyum dan selalu bersinar bak mentari,
itulah kecantikan.
Hal tersebut mirip seperti ketika
kita memperdebatkan, apakah sebuah gelas merupakan “separuh kosong” ataukah
“separuh terisi” air. Gelas dan air di dalamnya, sifatnya netral, tidak baik
dan tidak juga buruk. Semua bergantung pada pola pikir dan mindset si pengamatnya itu sendiri.
Bila kita hanya mampu melihat
kolam berlumpur, maka kita akan menilai bahwa kolam penuh lumpur tersebut
sangatlah buruk rupa, tidak sedap dipandang, dan mencelanya. Namun bila kita
berfokus pada teratai yang tumbuh dan mekar demikian indahnya di kolam
berlumpur tersebut, mengapa juga kita berfokus pada si lumpur? Orang-orang negatif
hanya akan cenderung tertarik mengamati hal-hal negatif, berkebalikan dengan
tabiat orang-orang positif yang hanya membatasi pandangan mereka pada hal-hal yang
positif.
Tidaklah perlu kita
mempermasalahkan kegelapan, cukup kita hidupkan lampu dan lilin, demikian
pepatah pernah berpesan, sebagai salah satu cerminan pola pikir positif yang
kreatif. Orang-orang positif cenderung lebih kreatif ketimbang orang-orang negatif
yang hanya mampu mengeluh, menuntut, dan menggerutu. Nasi sudah menjadi bubur? Jadikan
bubur ayam!
Karena itulah, kita cukup
berfokus pada hal-hal yang dapat kita kerjakan, dan berfokus pada orang-orang
yang baik yang mampu mendukung dan memberi kita semangat serta saling
menyemangati satu sama lain, tanpa perlu berfokus pada berbagai hal yang tidak
dapat kita lakukan terlebih berfokus pada orang-orang yang hanya pandai
mengkritik dan menghakimi kita—seolah dirinya sendiri tidak penuh cela dan
cacat.
Setiap orang punya talentanya
sendiri. Ada orang yang memiliki talenta mampu menulis secara fasih dan penuh
inpiratif dalam setiap tulisannya, namun sangat tidak lancar dalam keterampilan
mempelajari bahasa asing. Sebaliknya, ada juga tipe orang-orang yang mudah
menguasai banyak bahasa asing, namun sangat sukar ketika mencoba menuliskan
sesuatu di atas kertas, sekalipun mereka berasal dari satu keluarga.
Karenanya, tidak ada orang
yang bodoh, semua memiliki talentanya masing-masing. Setiap orang memiliki
kelebihan dan kelemahannya sendiri-sendiri, tidak ada yang lebih superior
maupun inferior dalam segala hal. Kita tidak pernah berhak menghakimi orang
lain atas kelemahan diri mereka, seolah kita sendiri tidak memiliki kelemahan.
Ada sebuah kisah inspiratif
yang cukup relevan untuk KWANG ulas sebagai penutup bahasan artikel singkat
ini, sebagaimana ditulis oleh H. J. Eggers dalam artikelnya yang termuat dalam
buku “Chicken Soup for the Soul :
Kekuatan Berpikir Positif—101 Kisah Inspiratif tentang Mengubah Hidup dengan Berpikir
Positif”, Editor Jack Canfield dkk., versi terjemahan Indonesia oleh
Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan ke-14 November 2018, dengan
uraian sebagai berikut:
RAK BUKU
“Buku bisa sangat berbahaya.
Buku yang terbaik harus diberi label. ‘Buku ini dapat mengubah hidupmu.’” (Helen
Exley)
Tim duduk di belakang kemudi
mobil sport-nya yang berwarna kuning. Matanya yang was-was menatap lurus ke
depan, seolah-olah tidak menyadari kehadiranku.
Aku melepaskan sabuk pengaman
dan keluar dari mobil. “Well, terima kasih makan malamnya, ya, ngg...” Nadaku
yang kaku sepadan dengan wajahnya yang kaku.
Dia mengangguk. “Ya,
sama-sama.” Lalu kendaraannya berlalu memutar. Aku memperhatikan sampai lampu
belakang mobilnya mengecil. Kencan pertama yang kembali lagi gagal.
Kemudian malam harinya, aku
menghibur diriku dengan sebuah buku. Aku seolah-olah sedang menjalankan misi
untuk membuktikan mantra teman-temanku yang lajang bahwa, “Semua lelaki yang
baik telah dimiliki.”
Tidak seperti teman-temanku
usia pertengahan, aku masih belum menyerah soal asmara. Aku masih merindukan
perkawinan yang kuimpikan. Aku sudah melihat banyak perkawinan yang ajeg dan
menyenangkan. Pasangan-pasangan yang masih saja berpegangan tanagn setelah
puluhan tahun hidup bersama. Pasangan usia delapan puluhan yang tinggal di
sebelah rumah, dan sering kusaksikan bergandengan tangan, tertawa bersama
bertukar cerita.
Aku berkencan ke sana kemari.
Matt mengajakku berpetualang. Namun, kebiasaan tidak jujurnya memisahkan kami.
Roger tampan dan peka, tetapi ledakan amarahnya membuyarkan bayangan tentang
kebahagiaan. Dan seterusnya dan seterusnya. Sebentar lagi aku akan ikut
mendendangkan, “Yang baik-baik sudah tiada lagi.”
Sampai pada suatu hari yang
penuh berkah, aku mendapatkan kesadaran secara tiba-tiba. Beberapa teman
perempuanku sedang berkumpul untuk makan siang di rumah Mary. Nona rumah kami
meratap, “Aku mengalami paling parah tadi malam! Cowok itu hanya ngoceh. Di
ponselnya. Semalaman!”
Kami semua bersimpati. Karena
langsung merasa bosan, aku berjalan menuju ke rak bukunya. Apa yang kulihat,
benar-benar melihat kini dengan mata terbuka lebar-lebar, membuatku menahan
napas. Semua buku tentang hubungan yang bermasalah memenuhi rak bukunya.
Judul-judul (disamarkan)
seperti : Men Who Hate Momen; Women Who Hate Men; Mowen Who Haten Men Who Hate
Women; 50 Ways to Leave Your Lover; How to Say No, Be Mean Today. Dua rak penuh
dengan buku-buku tentang bagaimana mengenali dan menjalani hubungan yang menyakitkan.
Mary masih saja menyenandungkan
dengan lantang lagu “Hidup Ini Tidak Adil”. Aku hafal kata-kata dalam lagu yang
menyedihkan ini. Aku tak mau lagi menyanyikan yang seperti ini.
Aku kembali menatap ke rak
bukunya. Makin banyak judul yang kubaca, makin putus asa aku jadinya. Di
satu sisi aku merasa tersentak, di sisi lain, aku juga jadi bersemangat. Aku
tahu bahwa aku sedang menjelang suatu Perubahan Besar. Sambil berpamitan, aku
meninggalkan acara makan siang itu paling dulu.
Pikiranku penuh ketika aku
menyetir pulang. Setibanya di rumahku yang tenang, kutaruh jaket musim dinginku
di lantai, kunci mobil di sofa, dan langsung memeriksa rak bukuku sendiri.
Bagaimana judul-judul ini bisa
sampai pula di sini? Sebab judul-judul yang sama, dan lebih banyak lagi,
berderet-deret di rak buku-ku sendiri. what’s Wrong with Marriage Today? How to
Be Happy and Single. Liberated Women Unite. Dan lain-lain.
Kusandarkan keningku ke tembok
yang dingin. Apa pula yang sudah kuciptakan untuk diriku sendiri ini? Aku
telah melingkupi diriku dengan pikiran-pikiran tentang perkawinan yang gagal
dan hubungan yang tidak menyenangkan. Bagaimana ide-ide seperti ini bisa
mengarahkan aku ke suatu perkawinan yang penuh cinta?
Aku teringat pada rumah-rumah
dingin yang kuhuni sebagai anak, yang berantakan, hampa dari kasih sayang.
Sering kali, sebagai anak dahulu kala ketika masih belia aku menggumam sendiri,
“Bila aku besar nanti, rumahku akan penuh dengan kehangatan, tawa, mebel yang
bersih, berbagai makanan yang lezat, dan penuh cinta, tentunya.”
Rumah yang kudiami sekarang ini
jauh lebih baik dalam hal kerapian dan perangkatnya. Namun, secara emosional,
rumahku ini kosong. Namun apa yang dapat kulakukan untuk membuat rumahku dan
hidupku siap menyambut cinta? Aku merindukan perkawinan yang kuat dan
membahagiakan. Kini aku harus menyesuaikan lingkunganku dengan keinginanku.
Aku percaya bahwa semua buku,
bahkan buku yang buruk sekalipun, adalah sakral. Maka yang kulakukan kemudian adalah tindakan yang tidak perlu lagi
berbicara mengenai apa itu anggun. Dengan jantung berdebar, monoleh ke belakang
untuk memastikan bahwa tidak ada yang melihat apa yang sedang kulakukan, kuambil
semua buku yang negatif dari rak, dan membuangnya! Ya, tanpa perlu lagi
daur ulang untuk buku-buku itu. Informasi ini akan menuju langsung ke tempat
sampah, bagai virus yang harus segera dimusnahkan tanpa sisa.
Rak bukuku kini nyaris kosong
melompong.
Keesokan harinya aku pergi ke
toko buku bekas. Langkahku seperti biasa membawaku ke bagian buku yang membahas
soal hubungan. Aku hanya melihat judul-judul lama yang sama, pada awalnya.
Namun, kali ini aku bertahan dan terus mencari. Sebuah buku yang sudah kusam
berwarna biru menarik perhatianku : The Adventure of Being a Wife oleh Ruth
Peale. Kubayar tunai dan kubawa pulang buku itu.
Sambil menuangkan kopi panas ke
cangkir, aku pun duduk di kursi hijauku yang nyaman untuk membacanya.
Kehangatan terasa menyusupiku seperti musim semi yang indah. Bahuku relaks,
saat aku membaca kisah detail perkawinan yang mesra. Keterbukaan
dan rasa humor pengarang buku itu memberiku harapan.
Aku senang. Lalu suara di dalam
hatiku berkata, “Perkawinan untuk lelaki dan perempuan ini, mungkin bukan
untukmu. Kau tak akan pernah menikah dengan bahagia.” Kulawan suara kecil itu,
tetapi hanya sampai pada keputusanku bahwa kalau pun aku tidak bisa
merasakan perkawinan yang membahagiakan, aku tetap akan menikmati perkawinan
bahagia yang dirasakan orang lain.
Aku melahap buku itu sampai tamat,
tuntas hingga halaman terakhir, dengan menggaris-bawahi bagian-bagian yang
kusukai. Aku kembali ke toko buku itu dasn membeli sebuah buku hardcover dengan
harga penuh berjudul ‘The Good marriage’ oleh Wallerstein dan Blakeslee.
Di rumah aku membaca satu kisah. Lalu kisah berikutnya, sampai ke halaman
terakhir tanpa rasa penyesalan.
Aku bersorak saat membaca
tantangan yang telah ditaklukkan oleh pasangan itu. Saudara yang sakit,
kehilangan anak yang sangat menyakitkan, pertengkaran dalam perkawinan dan berdamai.
Urusan perkawinan ini memang bukanlah hal yang mudah, tidak mudah bagi standar
semua orang. Dengan senang hati, aku menuntaskan buku itu. Perkawinan yang indah
dimungkinkan bagi sedikit orang yang beruntung. Ini merupakan kabar yang
menyenangkan, dan aku sadar benar akan hal itu.
Beberapa hari kemudian aku
kembali ke toko buku dan membeli buku berjudul, ‘I Will Never Leave You’
oleh Hugh dan Gayle Prather. Mereka jujur soal masalah yang mereka hadapi.
Perkawinan seperti ini tak akan lekang sekalipun oleh berjalannya waktu.
Setelah beberapa bulan, rak
bukuku kembali terisi. Namun, kali ini judul-judul buku di sana memenuhiku
dengan harapan dan keriangan. Buku-buku tentang perkawinan
yang sukses, termasuk buku yang ditulis oleh Dr. Gottman, yang berjudul,
“Seven Principles for Making Marriage Work’. Urusan perkawinan di sini adalah
urusan yang menyenangkan, bahkan bila aku tak mengalaminya sendiri. Hatiku
penuh rasa syukur bahwa aku bisa membaca dan ikut merasakan keberhasilan orang
lain.
Seiring waktu, pikiranku berubah
dan melunak. Aku tak lagi berpartisipasi dalam ratapan “Semua lelaki yang baik
sudah menikah.” Begitu pikiran condong ke arah pikiran-pikiran positif,
sikapku tentang perkawinan berubah, hidupku pun berubah.
Pada tahun 2003, aku berjumpa
dengan kekasihku, Shawn, lelaki yang ingin kunikahi. Bulan lalu kami merayakan
enam tahun perkawinan kami. Sambil memasuki usia pertengahan, kami terus-menerus
melakukan penyesuaian.
Yang paling indah adalah yang
juga terus kami nikmati adalah kegembiraan dan keajaiban. Aku
sangat bersyukur atas kebahagiaan tak terduga yang dihadirkan suamiku ke dalam
hidupku.
Kini, setiap kali merasa buntu
di satu masalah hidup, aku memeriksa rak bukuku, yang kini dipenuhi judul-judul
yang bernada positif. Apakah keuangan sedang kacau? Pikiran-pikiran apa
yang kugandrungi? Bila berat badanku mulai naik, memeriksa rak buku sebentar
saja sudah mengingatkan aku tentang bagaimana caraku menurunkan berat badan
pertama kali. Sedikit meninjau pikiran sudah memberitahuku apa yang sedang
kulakukan dan pikiran akhir-akhir ini.
Bila dapat memimpikannya, maka kau akan dapat mencapainya. Sewaktu aku membalikkan tubuhku selagi tidur, dan merasakan kehangatan
tubuh besar suamiku, aku tersenyum ketika mengingat mimpiku yang “mustahil”.
Dan kini bila berkunjung ke
rumahku, kau akan menemukan buku yang terus bertambah banyak tentang bagaimana
menjadi kakek-nenek yang bahagia.
Ketika kita sibuk mengeluh dan
mengkritik, sejatinya kita menjauhkan kebahagiaan dari diri kita sendiri, dan
menjauhkan orang-orang baik dari dekat kita (banyak tokoh menyebutnya sebagai “the law of attraction”). Kitalah menjauh
dari mereka akibat segala komentar dan kritik negatif kita, bukan sebaliknya.
Bergaul dengan seorang yang
pandai mengkritik, dapat menular, dan membuat kita demikian pandai mengkritik
dan mencela. Sementara, berkebalikan dengan itu, pribadi yang positif bukanlah
seorang individu yang gemar mengkritik secara negatif, namun mampu melihat,
mengakui, dan memuji keluhuran sifat dari orang lain yang dikenal olehnya,
saling menghargai, dan saling menghormati. 😈😇😉
Berjumpa dan berteman dengan
seseorang yang positif, sungguh suatu berkah. Karena, sifat positif pun dapat turut
menular! Karena KWANG EARRINGS adalah teman terbaik mu! 😊
0 comments
Ikuti juga sosial media kami pada business.facebook, dengan akun : "Expat 2 Local Thai" / @guideriana
Rincian layanan JasTip (Jasa Titip) produk Thailand, dapat dilihat pada menu "Jasa Pencarian, Jasa Titip, dan Pengiriman Produk Thailand ke Indonesia".
Rincian layanan Private Tour Guide di Bangkok-Thailand, dapat dilihat pada menu "Private Tour Guide Riana".
NOTE REDAKSI : Seluruh info kontak dalam website ini diperuntukkan khusus untuk tujuan pemesanan dan bagi pengguna jasa layanan yang kami tawarkan dalam website ini. Menghubungi kami diluar peruntukan tersebut, dimaknai sebagai menyalah-gunakan nomor / email kontak kerja profesi kami, tidak akan ditanggapi.
Mohon kesediaan menunggu sejenak bila belum ada tanggapan secara segera, karena faktor kesibukan atau karena lain sebab. Pemesanan akan kami respons sesegera yang kami mampu.
Konsumen / pengguna jasa dapat melakukan pemesanan pada nomor kontak / email yang tercantum dalam menu "HUBUNGI KAMI" atau pada rincian "contact person" di atas, bukan pada kolom komentar pada posting website.
Kami tunggu pesanan teman-teman sekalian dimana pun berada, akan kami kirimkan pesanan Anda dengan hati yang penuh kehangatan untuk Anda atau untuk buah hati dan keluarga yang Anda kasihi.
Salam hangat dari Bangkok, Thailand.
ttd
GUIDE RIANA & REMEMBERTHAI TEAM