By SHIETRA - October 24, 2019
Konon, lambung kita memerlukan asupan
/ konsumsi makanan yang mengandung asam agar tingkat keasamannya terjaga.
Namun, banyak dijumpai penderita dengan asam lambung yang selama ini
mengkonsumsi obat asam lambung untuk mengatasi lambung yang asam. Memang sangat
membingungkan, sementara kita ketahui bahwa lambung adalah organ dalam tubuh
yang sangat penting dalam fungsi mencerap nutrisi makanan bagi tubuh.
Obat asam lambung ranitidine, saat kini ternyata disinyalir menjadi pemicu kanker, dimana beberapa merek
obat kini mulai dilarang untuk dikonsumsi oleh masyarakat, dan mulai ditarik
dari pasaran meski telah selama puluhan tahun dikonsumsi oleh konsumen.
Berita ini penting bagi masyarakat
yang selama ini kerap mengonsumsi obat asam lambung. Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia telah memerintahkan penarikan 5 produk Ranitidine
dari pasaran di Indonesia yang terdeteksi mengandung N-nitrosodimethylamine (NDMA),
yang disinyalir sebagai zat yang bisa menyebabkan kanker alias bersifat
karsinogenik.
Produk ranitidin yang
diperintahkan penarikannya setelah terdeteksi mengandung NDMA adalah Ranitidine
Cairan Injeksi 25 mg/mL dengan pemegang izin edar PT. Phapros Tbk.
Sementara itu, produk ranitidin
terdeteksi NDMA yang ditarik sukarela adalah Zantac Cairan Injeksi 25 mg/mL
dari PT. Glaxo Wellcome Indonesia, Rinadin Sirup 75 mg/5mL dari PT. Global
Multi Pharmalab, serta Indoran Cairan Injeksi 25 mg/mL dan Ranitidine cairan
injeksi 25 mg/ML dari PT. Indofarma.
Dikutip dari penjelasan BPOM RI
tentang penarikan produk Ranitidine yang tekontaminasi NDMA, ranitidin
sebetulnya telah mendapatkan persetujuan dari BPOM untuk pengobatan gejala
penyakit tukak lambung dan tukak usus sejak tahun 1989—alias hingga
saat ulasan ini diberitakan pers, artinya telah 30 tahun masyarakat mengkonsumsi
“obat” yang ternyata adalah “racun” pemicu kanker tersebut!
Pemberian izin tersebut, pada
tahun 1989, pada mulanya didasari oleh kajian evaluasi keamanan, khasiat dan
mutu. Namun, pada 13 September 2019, BPOM Amerika Serikat (FDA) dan BPOM Eropa
(EMA) mengeluarkan peringatan tentang adanya temuan cemaran NDMA dalam kadar
rendah pada sampel produk yang mengandung bahan aktif ranitidin.
"NDMA merupakan turunan
zat Nitrosamin yang dapat terbentuk secara alami," demikian siaran pers
resmi dari BPOM, 4 Oktober 2019—alias terlambat 30 tahun untuk membuka fakta
demikian kepada publik yang selama ini selama 30 tahun telah terlanjur
mengkonsumsinya. “Aman untuk dikonsumsi”, dengan demikian dalam terminologi
medik, sangatlah tentatif sifatnya.
Menurut studi global, NDMA
memiliki nilai ambang batas 96 ng/hari dan bersifat karsinogenik jika
dikonsumsi di atas ambang batas secara terus-menerus dalam jangka waktu yang
lama.
Didasari oleh temuan tersebut,
BPOM kemudian (meski terlambat meski tidak sama sekali) melakukan pengambilan
dan pengujian terhadap sampel produk Ranitidine. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian sampel
mengandung cemaran NDMA dalam jumlah yang melebihi batas.
BPOM pun menindaklanjuti hasil
pengujian dengan memerintahkan kepada industri farmasi pemegang izin edar
produk ini untuk menghentikan produksinya dan menghentikan distribusi obat
tersebut, serta melakukan penarikan kembali seluruh bets produk dari peredaran
di pasar.
Industri farmasi juga
diwajibkan untuk melakukan pengujian secara mandiri terhadap cemaran NDMA dan
menarik secara sukarela bila kandungan cemarannya ditemukan melebihi ambang
batas yang diperbolehkan.
Terkait pengujian dan kajian
risiko, BPOM menyatakan akan melanjutkannya terhadap seluruh produk yang
mengandung Ranitidine.
Kalangan ahli yang telah
dihubungi oleh Kompas.com pada 25 September 2019, yakni Akademisi dan Praktisi
Kesehatan Dr Ari Fahrial Syam, mengatakan bahwa obat Ranitidine memang memiliki
kandungan sumber karsinogen yang sedang diteliti dan diinvestigasi lebih lanjut
oleh BPOM Indonesia dan FDA AS.
"Obat ini (Ranitidine)
yang biasanya untuk penderita maag, terbukti secara konten (isi kandungan) ada
karsinogennya (zat penyebab kanker). Tapi masih dievaluasi berbahaya atau
tidaknya, dengan kadar rendah itu," ujar Ari kepada Kompas.com, Rabu
(25/9/2019).
Menurut dia, pada umumnya
sumber karsinogen atau zat beracun tersebar dalam kehidupan sehari-hari, yaitu
di dalam asap kebakaran dan juga produk bakaran tembakau maupun turunannya.
Meski demikian, bila kajian
membuktikan bahwa zat NDMA dalam Ranitidine berbahaya, maka obat ini tidak
boleh digunakan.
"Kayak formalinlah, kecil
berbahaya. Tapi tetap tidak boleh kita gunakan, karena racun. Jadi, kalau nanti
hasil evaluasi itu Ranitidine beracun dan berbahaya artinya tidak boleh
digunakan, berapa pun dosisnya atau seberapa lama jangka konsumsinya, kalau
racun tetap tidak boleh digunakan," kata Ari Fahiral Syam.
Terkait efek kanker dari sumber
karsinogen yang ada di obat Ranitidine, Ari Fahiral Syam berkata bahwa karena
obat tersebut merupakan obat yang dikonsumsi, arah kankernya bisa terjadi di liver
atau hati.
Namun, ini baru dugaan dan
masih membutuhkan kajian lebih lanjut. BPOM sendiri masih menunggu bagaimana
kelanjutan investigasi zat karsinogen di dalam obat Ranitidine tersebut—meski,
seyogianya BPOM secara proaktif berdasarkan inisiatifnya sendiri melakukan pengujian terhadap sampel produk obat-obatan yang beredar di pasaran Indonesia tanpa harus menunggu
adanya laporan atau dugaan dari pihak otoritas di luar negeri. Karena apalah
gunanya BPOM jika hanya bersikap “latah” dan reaktif terhadap laporan dari luar
negeri.
Ari Fahiral Syam menyampaikan
bahwa ada banyak obat yang sebenarnya lebih kuat untuk menekan asam lambung,
yaitu omeprazol, lansoprazol, rabeprazol, esomeprazol, atau pantoprazol—namun sekali
lagi, kebenaran ilmu pengetahuan bersifat tentatif, ia dapat berubah sewaktu-waktu
dari “aman” menjadi “tidak aman” atau bahkan “berbahaya untuk dikonsumsi”
sekalipun telah terlanjur dikonsumsi banyak masyarakat di pasaran.
Karena itulah, kini Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memerintahkan industri farmasi di Indonesia
untuk menghentikan produksi obat mengandung Ranitidin yang tercemar
N-Nitrosodimethylamine (NDMA). Obat untuk gejala penyakit tukak lambung dan tukak
usus itu juga diminta ditarik dari peredarannya.
NDMA merupakan zat yang
sebenarnya tidak berbahaya jika dikonsumsi sesuai ambang batas. Namun BPOM
menemukan pencemaran di atas ambang batas yang menyebabkan NDMA bersifat
karsinogenik atau memicu kanker.
"Berdasarkan nilai ambang
batas cemaran NDMA yang diperbolehkan, Badan POM memerintahkan kepada Industri
Farmasi pemegang izin edar produk tersebut untuk melakukan penghentian produksi
dan distribusi serta melakukan penarikan kembali (recall) seluruh bets produk
dari peredaran," tulis keterangan BPOM dalam situs resminya, Jumat (4/10)
Lantas, bagaimana dengan
pertanggung-jawaban pihak produsen kepada pihak konsumennya yang telah selama bertahun-tahun
hingga berpuluh-puluh tahun mengkonsumsinya? Dapatkah pihak produsen
menjualnya, lalu mendalilkan “tidak mengetahui” bahwa produk yang diproduksi
dan beredar di pasaran, ternyata berbahaya bagi konsumen?
Itulah yang tidak pernah
terjawab hingga saat kini. Pada akhirnya, keselamatan dan kepastian keamanan
bagi konsumen produk-produk medik dan farmasi, selalu dipertaruhkan, sementara
pihak produsen tetap mencetak keuntungan / laba profit usaha.
BPOM mengacu pada studi global
yang memutuskan ambang batas cemaran NDMA sejumlah 96 ng per hari. Hal ini
didapat dari penemuan US Food and Drug Administration (FDA) serta European
Medicine Agency (EMA) terhadap zat tersebut.
Barulah pada tahun 2018, EMA
melakukan penelitian dan menemukan NDMA serta senyawa lainnya yang disebut
nitrosamin ditemukan dalam sejumlah obat tekanan darah bernama sartan.
Berdasarkan keterangan di situs resmi EMA, tinjauan Uni Eropa terhadap obat
tersebut pun membuat distribusi obat itu ditarik kembali.
"NDMA diklasifikasikan
sebagai zat karsinogenik (menyebabkan kanker) pada manusia berdasarkan
studi-studi pada hewan," tulis EMA. Meski mengherankan, mengapa studi
demikian dapat terlambat hingga 30 tahun? Apakah 30 tahun lalu, saat obat
tersebut dirilis ke pasaran, tidak pernah dilakukan uji klinis pada hewan di
laboratorium?
Selain itu, US FDA juga telah
menyelidiki zat serupa sejak tahun lalu. Zat itu ditemukan dalam obat tekanan
darah dan gagal jantung yakni Angiotensin II Receptor Blockers (ARBs).
"FDA telah mempelajari
bahwa beberapa jenis ranitidin, termasuk produk yang dikenal dengan merek
Zantac, mengandung NDMA dalam level rendah," tulis FDA.
"NDMA bisa dikelompokkan
sebagai zat karsinogenik pada manusia," imbuh FDA.
BPOM sendiri saat ini tengah
melakukan pengambilan dan pengujian beberapa sampel produk ranitidin. Hasil uji
sebagian sampel mengandung cemaran NDMA dengan jumlah yang melebihi batas yang
diperbolehkan.
"Pengujian dan kajian
risiko akan dilanjutkan terhadap seluruh produk yang mengandung
ranitidin".
Berdasarkan nilai ambang batas
cemaran NDMA yang diperbolehkan inilah, Badan POM memerintahkan kepada Industri
Farmasi pemegang izin edar produk tersebut untuk menghentikan produksi maupun
distribusi serta melakukan penarikan kembali
seluruh bets produk dari peredaran.
Untuk diketahui, Ranitidin
adalah obat yang biasa digunakan untuk gejala penyakit tukak lambung dan tukak
usus. Persetujuan terhadap produksi dan distribusi ranitidin telah diberikan
BPOM sejak 1989 dengan bentuk tablet, sirup dan injeksi.
Nilai ambang batas cemaran NDMA
yang diperbolehkan adalah 96 ng/hari (acceptable daily intake). Bahan ini
bersifat karsinogenik (bisa memicu kanker) jika dikonsumsi di atas ambang batas
secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama.
Hasil uji yang dilakukan BPOM
terhadap sejumlah sampel menunjukkan, sebagian mengandung cemaran NDMA dengan
jumlah melebihi batas yang diperbolehkan.
Karena KWANG EARRINGS
adalah teman terbaik mu! 😊
Sumber Rujukan:
“Obat Asam Lambung Ranitidine
Memicu Kanker, Inilah 5 Merek Obat Dilarang Dikonsumsi, Mulai Ditarik”, dari https://
makassar.tribunnews .com/2019/10/08/obat-asam-lambung-ranitidine-memicu-kanker-inilah-5-merek-obat-dilarang-dikonsumsi-mulai-ditarik
“BPOM Tarik Obat Tukak Lambung
yang Diduga Jadi Pemicu Kanker”, dari https:// www. cnnindonesia .com/nasional/20191007192158-20-437559/bpom-tarik-obat-tukak-lambung-yang-diduga-jadi-pemicu-kanker
“Obat Asam Lambung Bisa Picu
Kanker, Ini Penjelasan Phapros”, dari : https:// www. cnbcindonesia .com/market/20191007175652-17-105043/obat-asam-lambung-bisa-picu-kanker-ini-penjelasan-phapros
0 comments
Ikuti juga sosial media kami pada business.facebook, dengan akun : "Expat 2 Local Thai" / @guideriana
Rincian layanan JasTip (Jasa Titip) produk Thailand, dapat dilihat pada menu "Jasa Pencarian, Jasa Titip, dan Pengiriman Produk Thailand ke Indonesia".
Rincian layanan Private Tour Guide di Bangkok-Thailand, dapat dilihat pada menu "Private Tour Guide Riana".
NOTE REDAKSI : Seluruh info kontak dalam website ini diperuntukkan khusus untuk tujuan pemesanan dan bagi pengguna jasa layanan yang kami tawarkan dalam website ini. Menghubungi kami diluar peruntukan tersebut, dimaknai sebagai menyalah-gunakan nomor / email kontak kerja profesi kami, tidak akan ditanggapi.
Mohon kesediaan menunggu sejenak bila belum ada tanggapan secara segera, karena faktor kesibukan atau karena lain sebab. Pemesanan akan kami respons sesegera yang kami mampu.
Konsumen / pengguna jasa dapat melakukan pemesanan pada nomor kontak / email yang tercantum dalam menu "HUBUNGI KAMI" atau pada rincian "contact person" di atas, bukan pada kolom komentar pada posting website.
Kami tunggu pesanan teman-teman sekalian dimana pun berada, akan kami kirimkan pesanan Anda dengan hati yang penuh kehangatan untuk Anda atau untuk buah hati dan keluarga yang Anda kasihi.
Salam hangat dari Bangkok, Thailand.
ttd
GUIDE RIANA & REMEMBERTHAI TEAM