By SHIETRA - November 14, 2019
Ide tulisan berikut ini
tercetus tatkala KWANG sedang mengamati sensasi unik dalam berbagai kisah drama
televisi yang selama ini KWANG amati dan saksikan. Ketika tokoh utama prianya (main actor) sebenarnya berwajah “pas-pas-an” saja, namun karena digambarkan demikian bertanggung-jawab,
adil, tidak pernah memakai cara-cara curang, dan tidak suka mengeluh, pekerja
keras, dan suka menolong, membuat kita yang menyaksikan sang tokoh dalam film
tersebut menjadi tampak menjelma tampan dan gagah perkasa, serta mulai
mengidolakannya.
Begitupula sang “lead actress”, tokoh wanita utama
pasangan tokoh protagonis prianya, meski berwajah “pas-pas-an” saja menurut
KWANG pada mulanya, namun karena digambarkan dalam kisah film dramanya sebagai
memiliki perangai yang baik hati, lembut, ramah, polos, murni, jujur, dan suci
hatinya, membuatnya tampak seperti dewi yang turun dari kahyangan dimana kita
yang menyaksikan dapat terperangah dan mulai mengagumi sang pemeran tokoh
wanita tersebut.
Sebaliknya, tokoh jahat dalam
film drama yang kita saksikan, meski sejatinya cantik dan berwajah memikat
serta menawan, namun karena dikisahkan begitu licik, jahat dalam perilaku,
ambisius, manipulatif, eksploitatif, tidak berperi-kemanusiaan, serakah, dan
jahat mulutnya, membuatnya tampak begitu menyebalkan, jelek, memuakkan, dan
ingin rasanya kita ikut mencubit pipi si tokoh pemeran wanita jahat sepuasnya
di kisah drama tersebut dan menjulukinya sebagai “si nenek sihir”.
Begitu juga, tokoh pria
jahatnya sekalipun tampak tampan pada mulanya kita saksikan di layar televisi,
namun ketika cerita dramanya berlanjut mengisahkan keburukan karakter sang
tokoh dalam drama tersebut yang demikian jahat, seperti memiliki sifat-sifat kelicikan,
penuh tipu muslihat, suka ingkar janji, kerap menyakiti orang lain, tega
berbuat jahat, acapkali berbohong, membuatnya tampak seburuk onggokan sampah di
tong sampah. Kita yang menyaksikan pun, mulai “ill feel” dengan sang tokoh pemeran.
Namun, dalam kesempatan di film
drama lainnya, sekalipun diperankan oleh aktor dan artis yang sama, dimana
dalam kisah drama film sebelumnya berperan sebagai tokoh baik, kini berbalik
memerankan tokoh jahat, kita pun akan mulai merasa “sebal” dengan sang aktor
maupun artis. Mengapa dapat terjadi demikian? Karena kita menilai seseorang bukan
semata karena faktor ketampanan atau kecantikan wajah semata, namun perihal “isi
hati” dan keluhuran karakternya sebagai satu-kesatuan.
Yup, mereka hanyalah aktor dan
aktris yang memerankan skenario film drama rekaan yang belum tentu mencerminkan
karakter asli mereka dalam keseharian mereka. Namun, yang pasti, dan yang dapat
kita tarik sebagai pembelajaran, ternyata “inner
beuty” memang benar-benar lebih menentukan aura ketampanan dan kecantikan
seseorang, ketimbang wajah seseorang yang bisa jadi akan menua dan berkeriput
dengan cepatnya.
Namun, apakah artinya kita
harus menjadi “Mr. Nice Guy” yang selalu bersikap manis kepada setiap orang dan
setiap situasi maupun kondisi semacam apapun? Bila kita selalu berprinsip “menyenangkan
semua orang”, maka pada gilirannya kita sendiri yang akan terluka dan disakiti,
karena memang orang-orang jahat akan selalu mengincar dan “memangsa” orang-orang
baik yang di mata mereka adalah “mangsa empuk”.
Menjadi orang baik, adalah baik
dan sah-sah saja, namun bukan artinya kita boleh lalai untuk menjaga diri kita sendiri
agar tidak dikorbankan oleh keserakahan orang lain yang belum tentu juga beritikad
baik terhadap kita. Kita pun punya tanggung jawab terhadap diri kita sendiri,
setidaknya untuk menjaga diri kita sendiri dari tangan-tangan “usil” dan “nakal”
orang jahat.
Kebaikan hati, sifatnya selalu
berupa dua arah, kita bersikap baik terhadap orang lain yang juga memiliki
kebaikan hati yang setara terhadap kita—itu baru “klop”. Dengan begitu,
kebaikan hati menjadi indah dan bertimbal-balik, karena berbuat baik artinya
menurut Sang Buddha, ialah : “Tidak
menyakiti orang lain, juga tidak menyakiti ataupun merugikan diri sendiri.”
Baik hati dan bersikap bodoh,
adalah dua hal yang berbeda dan tidak dapat dicampur-aduk. Orang baik pun perlu
menjaga baik-baik dirinya sendiri agar tidak dilukai maupun diperdaya oleh orang-orang
jahat. Orang baik yang bodoh, kerap mudah dieksploitasi oleh orang-orang jahat
yang tidak memiliki hati nurani. Karenanya, “bersikaplah baik secara
bijaksana” Mungkin kalimat bijak berikut ini dapat cukup mewakili:
“Saya tidak tahu kunci sukses, tetapi kunci kegagalan adalah mencoba
menyenangkan setiap orang.” (Bill Cosby)
Menjadi orang baik, bukan
artinya harus menyenangkan setiap orang ataupun terobsesi untuk dipuji oleh
setiap orang sebagai “anak yang manis”. Menjadi orang yang baik, cukup
disadari dan diketahui oleh diri kita sendiri—karena itulah, berdana tanpa
perlu mengundang perhatian banyak orang, adalah perbuatan bajik yang paling mulia
sifat dan niat baiknya, karena tidak membutuhkan dan tidak mengejar pengakuan
ataupun pujian dari orang lain.
Tidak penting orang lain menilai kita jahat ataukah baik,
kita sendiri yang paling tahu siapa diri kita sendiri. Kita, bukanlah produk
penilaian ataupun komentar orang lain. Kita, adalah produk perbuatan dan
kebiasaan kita sendiri masing-masing.
Seorang intel, sebagai contoh, bisa
jadi menyamar sebagai orang jahat, namun sejatinya dirinya adalah orang baik-baik
sekalipun mungkin kita menilainya sebagai orang jahat. Orang lain boleh saja
berkomentar, apapun isi komentarnya, namun kita sendiri yang memutuskan untuk
menjadi manusia baik-baik ataukah menjadi orang yang buruk—dan hanya kita
sendirilah yang paling tahu siapa diri kita.
Tidak jarang kita jumpai, orang-orang
yang diluar tampak baik hati, tampak dermawan, tampak penyabar, tampak sopan,
tampak mulia, tampak suciwan (lengkap dengan pakaian pemuka agama dan rajib
beribadah bahkan kerap diundang untuk berceramah), tampak rajin mengikuti bakti
sosial, tampak gemar berdana, tampak disanjung banyak orang. Namun, siapa
yang tahu apa isi hatinya yang sebenarnya?
Siapapun bisa berkata-kata baik
dan manis, berdana guna dikenal banyak orang, dan memasang wajah mulia agar
disukai banyak orang (memakai topeng). Ingatlah selalu pepatah, “musang berbulu
domba” agar kita tidak menilai seseorang dari “wujud” luarnya, “don’t judge the people by its face and
voices”.
Yang tidak kalah penting, ialah
perihal teladan dan contoh nyata. Semua orang dewasa bisa menasehati anak-anak mereka
agar menjadi orang baik-baik dan jujur, serta tidak berbuat jahat ataupun
perbuatan buruk lainnya. Namun, yang terlebih penting ialah sebagaimana
diutarakan oleh nasehat sebagai berikut:
“Anak-anak lebih membutuhkan contoh daripada kritik.” (Joseph Joubert)
Mudah bagi kita untuk
mengkomentari dan mengkritik orang lain sebagai orang mulia, orang baik, orang
buruk, orang jahat, orang licik, dan sebagainya. Namun, sebagai penutup, tepat
kiranya KWANG mengutipkan peribahasa yang indah berikut ini agar tidak kita
menjadi seorang komentator yang lebih ulung dan lebih sibuk mengomentari orang
lain ketimbang mengawasi diri kita sendiri:
“Cium tapak tangan, berbau atau tidak. Periksa diri sendiri dahulu
sebelum mengkritik orang lain.”
Selagi hidup, tabunglah banyak
perbuatan baik, hindari perbuatan buruk maupun perbuatan tercela SEKECIL APAPUN,
karena kita sendirilah yang pada gilirannya akan mewarisi karma (perbuatan)
kita sendiri masing-masing di kehidupan berikutnya.
Sekalipun kita dinilai oleh
banyak orang sebagai orang budiman, namun kita tidak pernah bisa benar-benar menipu
diri kita sendiri, terutama ketika nurani kita menyadari bahwa diri kita tidak
semulia apa yang dinilai oleh orang lain. Hukum Karma selalu tahu betul siapa
diri kita yang sejati dan kita pun selalu tahu wajah asli kita, maka untuk apa
jugakah menipu diri kita sendiri?
Yang terlebih ironis seseorang yang membutuhkan doa orang
lain ketika kita dirinya meninggal dunia, sebanyak apapun orang yang mendoakan kita
mengatakan dan memberi testimoni bahwa diri kita adalah orang yang baik.
Bila kita benar-benar orang
baik yang sejati, maka sejatinya kita tidak pernah membutuhkan doa dari orang
lain ketika kita meninggal dunia suatu saat nanti, karena Karma kita sendiri yang
menentukan hasilnya dan yang akan membawa kita kemana setelah kematian.
Jadilah orang yang otentik,
alias jujur apa adanya. Jahat sebagai orang jahat tanpa perlu memakai “bulu
domba” ataupun “topeng orang budiman”; dan menjadi orang baik pun tidak perlu
diketahui oleh orang lainnya—cukup baik secara otentik, tanpa motif
terselubung “ada udang dibalik batu”. Karena KWANG EARRINGS adalah teman
terbaik mu! 😊
0 comments
Ikuti juga sosial media kami pada business.facebook, dengan akun : "Expat 2 Local Thai" / @guideriana
Rincian layanan JasTip (Jasa Titip) produk Thailand, dapat dilihat pada menu "Jasa Pencarian, Jasa Titip, dan Pengiriman Produk Thailand ke Indonesia".
Rincian layanan Private Tour Guide di Bangkok-Thailand, dapat dilihat pada menu "Private Tour Guide Riana".
NOTE REDAKSI : Seluruh info kontak dalam website ini diperuntukkan khusus untuk tujuan pemesanan dan bagi pengguna jasa layanan yang kami tawarkan dalam website ini. Menghubungi kami diluar peruntukan tersebut, dimaknai sebagai menyalah-gunakan nomor / email kontak kerja profesi kami, tidak akan ditanggapi.
Mohon kesediaan menunggu sejenak bila belum ada tanggapan secara segera, karena faktor kesibukan atau karena lain sebab. Pemesanan akan kami respons sesegera yang kami mampu.
Konsumen / pengguna jasa dapat melakukan pemesanan pada nomor kontak / email yang tercantum dalam menu "HUBUNGI KAMI" atau pada rincian "contact person" di atas, bukan pada kolom komentar pada posting website.
Kami tunggu pesanan teman-teman sekalian dimana pun berada, akan kami kirimkan pesanan Anda dengan hati yang penuh kehangatan untuk Anda atau untuk buah hati dan keluarga yang Anda kasihi.
Salam hangat dari Bangkok, Thailand.
ttd
GUIDE RIANA & REMEMBERTHAI TEAM