Kita selalu diajarkan untuk
memaafkan, dimana konon sifat pemaaf adalah salah satu perilaku yang mulia. Namun,
memaafkan orang lain atas perbuatan buruk mereka, yang justru membuat kita
kembali menjadi korban perbuatan serupa oleh orang / pelaku yang sama (residivis),
maka apakah pemaafan demikian dapat disebut sebagai langkah yang bijak?
Apakah memaafkan selalu, baik
sifatnya? Kapankah kita harus memaafkan, dan kapankah kita tidak boleh
mengumbar pemaafan? Terlebih-lebih, bila kita mampu dengan mudah memberi maaf
bagi orang lain, mengapa juga kita begitu kikir memberi maaf bagi diri kita
sendiri?
Berbuat baik kepada seseorang,
kita diajarkan untuk terlebih dahulu menilai bibit, bebet, dan bobot dari orang
bersangkutan, sehingga kita tidak dapat “asal” berbuat baik—agar tidak menjadi “bumerang”
bagi diri kita sendiri di kemudian hari, karena kita tidak mencari tahu itikad
orang tersebut apakah juga beritikad baik terhadap kita sebelum kita beri
bantuan dan pertolongan. Pertolongan perlu tepat “sasaran”, tidak cukup hanya
sekadar niat baik—alias berbuat bajik secara cerdas.
Begitupula, tidak semua jenis karakter
manusia yang dapat kita berikan maaf secara demikian mudah dan gampangnya. Tipe
jenis pribadi atau individu yang tidak bisa dimaafkan itu, yakni mereka yang
tidak mau introspeksi dan selalu ulangi kesalahan yang sama. Pemaafan demikian,
sama artinya membuat rentan diri kita sendiri untuk kembali menjadi korban
serupa dikemudian hari, alias tidak baik terhadap diri kita sendiri.
Semisal, seorang narapidana
yang meski sudah dihukum pidana penjara, setelah mendapat remisi kemudian
dibebaskan, ternyata masih juga mengulangi kesalahan yang sama ketika kembali di
tengah masyarakat.
Sudah dimaafkan, namun ternyata
“begitu lagi” dan “begitu lagi”, ulangi lagi dan mengulanginya kembali, “gitu
lagi dan gitu lagi”, letih sendiri kita jadinya menghadapi orang-orang yang
tidak mau dan tidak bisa introspeksi diri. Begitu sukarkah, meluangkan waktu
untuk merenung dan instrospeksi diri? Apakah dibutuhkan kecerdasan dan kepandaian
spesial, agar seseorang mampu melakukan introspeksi diri?
Terdapat gelagat-gelagat yang dapat
kita lihat secara tersirat maupun secara tersurat ketika kita memberikan maaf,
apakah orang tersebut mau dan mampu menginstrospeksi dirinya ataukah tidak sama
sekali. Ciri-cirinya agak mudah untuk diamati, yakni ketika dimaafkan, seketika
itu juga dirinya terlihat gembira dan “bebas” dari segala “dosa” ataupun rasa
bersalah, seketika melupakan kesalahan yang telah dibuat olehnya sendiri.
Dirinya tidak mampu
memperlihatkan nuansa rasa menyesal, menyesali, ataupun membuat instrospeksi
diri. Sekalipun meminta maaf, namun hanya sekadar di bibir belaka, tidak di hati.
Jangan berharap pula mereka akan bertanggung-jawab selain sekadar gimmick belaka.
Seseorang yang mampu
bertanggung-jawab, sekalipun tiada meminta maaf, sudah merupakan sebentuk
penyesalan yang diwujudkan secara konkret dan itu lebih nyata sifatnya daripada
semudah “bersilat lidah”—pepatah menyebutkan: “lidah tidak bertulang”.
Semisal, seorang orangtua memiliki
anak yang baik hati, penyabar, dan pemaaf. Mentang-mentang tahu anak memiliki karakter pemaaf dan penuh kesabaran,
lalu si orangtua bertindak eeenaknya terhadap sang anak, karena tahu betul
dirinya akan dimaafkan seperti yang selama ini terjadi (setelah dimaafkan
kembali kesalahan yang sama diulangi, dan diulangi kembali setelah sekian
banyak dimaafkan, seolah saling berlomba-lomba untuk memaafkan dan berbuat
kesalahan), sehingga jadinya sang orangtua bertindak selalu sewenang-wenang terhadap
anaknya sendiri, dengan semudah menyalah-gunakan kebaikan dan kelembutan hati seorang anak. Seperti itukah kejadian yang kita harapkan?
Seseorang yang betul-betul dapat
disebut menyesali perbuatannya, ialah “bertobat” dalam artian tidak mengulangi
kesalahan yang sama dikemudian hari, barulah layak untuk mendapat pemaafan. Kita
tidak perlu menuntut agar diri bersangkutan bersedia secara kesadaran pribadi
untuk bertanggung-jawab, namun sudahlah cukup bagi kita agar yang bersangkutan
tidak kembali mengulangi kesalahan serupa.
Melupakan kesalahan, hanya patut dilakukan oleh pihak
korban, bukan oleh pihak pelaku pembuat kesalahan. Memaafkan, artinya melupakan
kesalahan dan tidak memperpanjang masalah. Namun, si pelaku tidak punya hak
istimewa untuk melupakan kesalahan yang telah dibuat olehnya—dalam rangka untuk
mengingatkan dirinya sendiri agar tidak mengulangi kesalahan serupa, untuk
tidak jatuh pada lubang yang sama, yang membuat diri seseorang tidak lebih
bodoh daripada seekor keledai yang tidak akan jatuh pada lubang maupun
kesalahan yang sama.
Ketika seseorang yang telah
kita maafkan ternyata mengulangi kembali perbuatannya, lagi dan lagi, itulah
cerminan nyata bahwa dirinya tidak benar-benar merasa bersalah, dan tidak benar-benar
patut untuk mendapat maaf dari kita. Kita pun, akan merasa tertipu karena
sebelumnya telah memberikan maaf namun kesalahan kembali diulangi olehnya.
Ketika kita justru memberi maaf
dengan begitu mudahnya, bahkan seolah kerap mengumbar dan “mengobral” maaf,
sejatinya kita sedang menyakiti diri kita sendiri karena kita kurang mampu menghargai
harkat dan martabat diri kita sendiri. KWANG kutipkan salah satu peribahasa yang cukup
relevan, sebagai berikut:
“Anak dipangku, kemenakan dibimbing, orang kampung dipertenggangkan. Pertimbangankan
segala sesuatunya dengan benar, sehingga tidak ada yang merasa dirugikan.“
Diimaafkan bukanlah sebuah “keberuntungan”
ataupun “berkah”, namun sebagai sebuah tanggung-jawab untuk tidak mengulangi
kesalahan serupa dikemudian hari dan momentum bagi kita untuk melakukan perenunangan
hingga instrospeksi diri.
Berulang kali dimaafkan bukanlah
sebuah “prestasi”, justru sebagai suatu tabu yang harus kita hindari, dengan benar-benar
mewaspadai perilaku dan perbuatan kita di keseharian. Hendaknya kita menjadikan
pemaafan sebagal yang “sakral”, baik oleh si pemberi maupun si penerima maaf.
Berbuat lalai ataupun berbuat
buruk, sejatinya adalah “perbuatan keliru” yang “tidak perlu”. Jika bisa
bersikap penuh perhatian dan kehati-hatian, mengapa juga bersikap lalai,
melanggar, atau bahkan berbuat buruk dengan sengaja? Itulah yang KWANG sebut
sebagai perbuatan keliru yang “tidak perlu”. Simak juga peribahasa bagus
berikut ini yang sangat mencerminkan maksud KWANG:
“Ada sampan hendak berenang. Sengaja bersusah-susah yang sebenarnya
tidak perlu.”
Mengandalkan permintaan maaf
dan dimaafkan, pada gilirannya dapat menjadi bumerang bagi diri yang
bersangkutan itu sendiri. Seseorang yang berbuat buruk, atau bahkan
melakukan kejahatan, tidak pernah berhak untuk menuntut diberikan maaf oleh
para korbannya—pernah juga terjadi, menjadi tampak “lucu”, pelaku perbuatan
buruk justru menuntut dimaafkan oleh pihak korbannya.
Perbuatan baik selalu beruah
baik karena adalah baik sesuatu perbuatan baik itu adanya. Namun, perbuatan
buruk selalu berbuah buruk bagi orang lain dan bagi dirinya sendiri. Menanam
benih kejahatan, tumbuh kejahatan. Tidak dapat kita mengharap menanam tumbuhan
duri beracun yang kemudian tumbuh ialah pohon mangga yang manis dan
menyehatkan.
Sebagai penutup, tepat kiranya
kita menyimak peribahasa penting satu ini, sebagai rangkuman yang telah secara panjang-lebar
kita bahas bersama:
“Asalnya kuda itu juga juga, asalnya keledai itu keledai juga. Perbuatan
baik hasilnya kebaikan, sedangkan perbuatan jahat hasilnya kejahatan juga.”
Jika kita bisa melakukan hanya
perbuatan baik, mengapa juga melakukan perbuatan buruk yang menyakiti orang
lain? Apakah tidak bisa, kita hidup tanpa mengganggu terlebih merugikan orang
lain? Apapun itu, orang baik adalah baik, diakui ataupun tidaknya. Sebaliknya, orang
jahat adalah jahat adanya, diakui ataupun dipungkiri adanya.
Seseorang yang tidak dapat dan tidak pernah merasa bersalah sedikit pun, bahkan terus mengulangi dan mengulanginya kembali, tidak pernah layak untuk mendapat pemaafan dari kita. Bila merasa bersalah sedikit pun tidak ada, begitu lagi dan begitu lagi, diulangi kembali dan terus saja diulangi kembali (kita yang menjadi bosan dan merasa letih, bukan si pelaku), itulah pertanda sikap KERAS KEPALA. Sudahkah Sobat berbuat bajik
dan baik hari ini dan melakukan introspeksi diri sekalipun tiada yang menegur kita? Karena KWANG EARRINGS adalah teman terbaik mu! 😊
0 comments
Ikuti juga sosial media kami pada business.facebook, dengan akun : "Expat 2 Local Thai" / @guideriana
Rincian layanan JasTip (Jasa Titip) produk Thailand, dapat dilihat pada menu "Jasa Pencarian, Jasa Titip, dan Pengiriman Produk Thailand ke Indonesia".
Rincian layanan Private Tour Guide di Bangkok-Thailand, dapat dilihat pada menu "Private Tour Guide Riana".
NOTE REDAKSI : Seluruh info kontak dalam website ini diperuntukkan khusus untuk tujuan pemesanan dan bagi pengguna jasa layanan yang kami tawarkan dalam website ini. Menghubungi kami diluar peruntukan tersebut, dimaknai sebagai menyalah-gunakan nomor / email kontak kerja profesi kami, tidak akan ditanggapi.
Mohon kesediaan menunggu sejenak bila belum ada tanggapan secara segera, karena faktor kesibukan atau karena lain sebab. Pemesanan akan kami respons sesegera yang kami mampu.
Konsumen / pengguna jasa dapat melakukan pemesanan pada nomor kontak / email yang tercantum dalam menu "HUBUNGI KAMI" atau pada rincian "contact person" di atas, bukan pada kolom komentar pada posting website.
Kami tunggu pesanan teman-teman sekalian dimana pun berada, akan kami kirimkan pesanan Anda dengan hati yang penuh kehangatan untuk Anda atau untuk buah hati dan keluarga yang Anda kasihi.
Salam hangat dari Bangkok, Thailand.
ttd
GUIDE RIANA & REMEMBERTHAI TEAM