By SHIETRA - November 09, 2019
Mengapa mempelajari pepatah dan
peribahasa, menjadi penting? Bukan hanya bagi kanak-kanak, bahkan banyak
diantara orang-orang dewasa sejatinya perlu mempelajari kembali
peribahasa-peribahasa peninggalan para pendahulu kita, dengan tujuan agar
kita semua teringat kembali bahwa diri kita adalah seorang manusia, dan bahwa orang
lain pun adalah manusia yang mampu merasa dan tidak ingin dilukai, bukan
berperilaku layaknya “manusia hewan”.
Berkata-kata manis, siapapun
bisa, bukanlah perkara sukar untuk berkata-kata manis. Menjadi seorang penjilat
dan menjilati orang lain agar disukai, semua orang pun bisa melakukannya, tidak
dibutuhkan keterampilan khusus untuk membeli hati orang lain agar mau menjadi simpatisan
dan supporter “bayaran”.
Namun, berperilaku manusiawi
dan penuh kemanusiaan, jujur, tidak merugikan orang lain, serta menghargai
hak-hak orang lain, itulah sikap yang jarang dimiliki oleh kebanyakan orang,
karena memang perlu dipelajari, tidak bisa tumbuh secara sendirinya. Seorang anak
yang buruk, maka dapat dikatakan bahwa itulah hasil kegagalan orang tua dan
gurunya dalam mendidik keluhuran karakter.
Orangtua yang serakah, selalu
melahirkan anak-anak yang sama dan tidak kalah serakahnya. Orangtua yang
dermawan melahirkan anak-anak yang sama dermawannya pula. Hal tersebut bukanlah
murni faktor genetik, namun perihal teladan dan pola pengasuhan.
Kata-kata dapat menipu, namun
sebuah, serangkaian, dan kebiasaan dari suatu perilaku ataupun sikap, tidak
dapat menipu. Tulus atau tidaknya, dapat dirasakan oleh orang lain. Kita tidak
dapat menilai tulus atau tidaknya dari tutur kata orang lain, namun dari
perilaku mereka dikeseharian.
Apakah seseorang yang
diperlakukan secara buruk, ataukah si pelaku perbuatan buruk, yang sejatinya
buruk? Selama ini kita didengungkan peribahasa klasik, bahwa tutur-kata
seseorang mencerminkan isi hatinya. Namun, peribahasa klasik demikian tampaknya
perlu mulai kita ubah menjadi seperti peribahasa yang lebih kontemporer dari seorang
tokoh tak dikenal berikut ini:
“Bagaimana ataupun cara-cara seseorang dalam memperlakukan
orang lain, merupakan cerminan tentang siapa diri si pembuat perilaku itu sendiri.
Itu bukanlah pernyataan tentang dirimu yang diperlakukan olehnya.”
Seseorang yang perilakunya
penuh pelanggaran hukum, maka itulah cerminan karakter internal hatinya yang
merupakan seorang pelanggar. Memperlakukan orang lain secara sewenang-wenang,
itulah cerminan watak perilakunya yang memang sewenang-wenang. Memperlakukan
orang lain dengan memakai cara-cara kekerasan, maka itulah cerminan betapa
dirinya seorang “pemain kekerasan” dan selalu menghadapi setiap hal dengan
“bermain (secara) kekerasan”.
Menjadi warga yang patuh
terhadap hukum, dan taat pada norma sosial, sebetulnya bukanlah hal yang sukar
agar tercipta tertib sosial dan tidak menimbulkan konflik-konflik sosial. Sebagai
pengemudi, sebagai contoh, setiap pengendara harus patuh pada norma mengendarai
kendaraan pada lajur kiri, agar tidak saling bertabrakan akibat adanya yang
melaju berlawanan arus.
Namun, seorang bermental
“pelanggar” tidak akan pernah mampu memahami prinsip hidup paling mendasar
demikian. Entah mengapa dan bagaimana, kerap KWANG jumpai orang-orang bertipe
yang gemar melanggar aturan apapun yang dijumpai olehnya, seolah “hobi”, hobi
melanggar—yang dalam dugaan KAWNG ialah akibat hasil kesalahan didik orangtuanya
atau mungkin memang begitulah yang selama ini diberi contoh oleh orangtuanya.
Peribahasa pernah menyebutkan:
“Bagaimana bungi kendang, begitulah tarinya. Segala sesuatu hendaklah
dilakukan sesuai aturannya.”
Bukanlah korban yang harus malu
karena dianiaya dan dilanggar hak-haknya. Namun, seorang berwatak mental
“pelanggar”, alih-alih merasa malu karena berbuat buruk telah menyakiti orang
lain, justru merasa bangga dapat menjadi “penguasa” yang “berkuasa” atas orang
lain yang tertindas olehnya.
Padahal, kita semua ketahui,
semua orang tanpa terkecuali akan menjadi tua, lemah, sampai akhirnya jatuh
sakit dan meninggal tanpa membawa serta harta apapun selain karma yang selama
ini ditanam olehnya selama hidup. Si dungu gemar menabung karma buruk, maka
layaklah dirinya terlahir kembali di alam-alam rendah dan penuh derita—alias bersenang-senang
dahulu, barulah menderita kemudian.
Mungkin saja saat kini si
pelaku merasa kuat, tidak terhentikan, dan tidak terkalahkan dalam
mengintimidasi dan meneror hidup orang lain, semata karena kekuatan ekonomi
maupun kekuasaan politis yang dahsyat tidak terbendung.
Namun, semua tiada yang kekal.
Hidup bagai roda yang terus berputar, ada kalanya diatas dan ada kalanya pula
dibawah. Tidak selamanya kita kuat, dan tidak selamanya si lemah akan selamanya
menjadi lemah.
Mungkin saja suatu saat
nantinya kondisi kita akan terbalik dengan kondisi orang lain, bagai berputar
180 derajat, maka apakah yang perlu kita sombongkan dalam hidup ini? Keangkuhan,
arogansi, pamer kekuatan ekonomi dan kekuasaan sosial, pada gilirannya menjadi
bumerang bagi dirinya sendiri.
Karenanya, merasa “besar
kepala” dan berasumsi bahwa selamanya diri mereka akan berada “diatas”, maka
pada saatnya nanti dirinya akan memetik buah karma buruk perbuatannya dan jatuh
pula pada akhirnya, dan harus mencicipi jatuh terjerembab di kolam berlumpur
serta buah karma buruk yang pahit. Menghina pada gilirannya akan terhina. Simak
pepatah penting satu ini:
“Di mana lalang habis, di situ api padam. Hidup mati orang tiada yang
tahu. Jika masanya tiba pastilah ia akan mati.“
Tidak perlu bagi kita untuk
berkecil hati atau tercemar ketenangan batinnya hanya karena orang-orang yang berperilaku
secara tidak beradab. Itulah sebabnya, sedari kecil kita perlu belajar peribahasa dan pepatah
yang bijak, agar menjadi bijaksana—jangan pernah berasumsi bahwa kita sudah
bijak “dari sananya”. Kebijaksanaan perlu dipelajari, tidak pernah ada
kebijaksanaan yang bersifat “sudah bisa bijak dari sananya”.
Bila kita berpikir bahwa
berbuat jahat, sifatnya masih dapat ditolerir, maka itu adalah pemikiran yang
terlampau picik dan egoistis. Jika kita tidak ingin dirugikan dan dilukai, maka
orang lain pun berhak untuk tidak dirugikan dan dihargai hak-haknya. Simak
peribahasa relevan berikut ini:
“Berbuat jahat jangan sekali, terbawa cemar segala ahli. Jangan
sekali-kali berbuat jahat, karena nama baik keluarga akan terbawa-bawa menjadi
buruk.“
Merusak, menyakiti, melukai,
dan menghancurkan selalu lebih mudah daripada membangun, merawat, merajut, dan
melestarikan. Karenanya, kita tidak boleh meremehkan perbuatan jahat sekecil
apapun. Mulai dari yang “kecil”, kelak pasti akan berbuat yang “besar”
akibat akumulasi kebiasaan dan “dosis” yang meningkat. Menyepelekan perbuatan
buruk, mengakibatkan kita terjebak dalam perspektif keliru bahwasannya seolah
perbuatan buruk bukanlah hal yang patut ditabukan, karena hanya dibuat secara “kecil”.
Yang “kecil” itu maksudnya yang
seperti “sekecil” apakah? “Kecil” bagi seseorang, belum tentu “kecil” bagi
kita. Memasak mungkin mudah bagi kita, namun belum tentu bagi orang lain.
Terkadang, orang-orang jahat
terlampau mengecil-ngecilkan (meremehkan) perbuatan buruk dirinya sendiri,
yang pada gilirannya menjadi kebiasaan, dan kebiasaan menjelma sebagai karakter—dan
tepatnya, di situlah letak akar masalahnya.
Seperti misalnya perbuatan
menyuap aparatur pejabat pemerintahan agar kegiatan usaha ilegal seorang pelaku
usaha dilindungi dan dibolehkan berusaha secara ilegal di lingkungan perumahan
warga yang notabene dilarang untuk kegiatan usaha berskala besar, mengakibatkan
warga setempat terganggu atau bahkan terampas hak-hak ketenangan hidupnya akibat
kegiatan usaha ilegal sang pengusaha, maka perilaku “menyuap” demikian, sekalipun
dianggap sebagai hal yang “kecil”, sejatinya si pelakunya telah masuk dalam
lingkaran dunia hitam yang gelap, “lingkaran setan” yang akan memerangkap si
pelakunya berputar-putar dan menjadi bagian dari dunia orang-orang gelap.
Menyerupai orang yang suka
berbohong, pertama kali berbohong dianggapnya hanya sesekali dan disepelekan
perilaku semacam berdusta, namun yang selanjutnya terjadi ialah dilanjutkan
dengan serangkaian kebohongan, menutup kebohongan lama dengan kebohongan baru,
sampai akhirnya menjadi kebiasaan dan terbiasa, bahkan mulai mengandalkan
kebohongan sebagai “solusi” instan atas setiap masalah yang dihadapi.
Hendaknya kita tidak
mengecilkan peran perbuatan baik sekecil apapun, dan sebaliknya, seyogianya
juga kita tidak menyepelekan perbuatan buruk sekecil apapun. Tidak pernah ada kata
remeh-temeh dalam suatu perbuatan, karena aksi sekecil apapun selalu akan
berbuntut pada “reaksi berantai” dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan. Menyepelekan
atau mengecil-ngecilkan, itu terjadi akibat kita menyederhanakan perasaan
korban yang hanya dirasakan sendiri oleh sang korban. Kita tidak pernah berhak
berkomentar atas pengalaman dan perasaan seorang korban, kecuali kita sendiri
turut menjadi korban serupa.
Kendalikan sikap, perhatikan
ucapan, dan waspadai perilaku kita sendiri. Jika tidak, maka pada gilirannya
diri kita yang akan termakan oleh perilaku dan cara kita berucap yang kita
biasakan sehari-hari. Pepatah bijak berikut sudah lama memberi kita peringatan:
“Yang hidup dari pedang, akan mati karena
pedang.” Yang hidup dari mulut yang jahat, akan mati karena mulut
jahatnya itu sendiri.
Tetap semangat, dan tetap
bertahan serta jadilah orang baik-baik, seperti teratai yang mampu tumbuh dan
mekar sempurna sekalipun hidup di kolam berlumpur. Bunganya indah tanpa
tercemar oleh lumpur dan bahkan mengundang lebah madu untuk hinggap. Sebagai penutup,
tepat kiranya KWANG kutipkan peribahasa penting berikut ini:
“Luka boleh sembuh, parutnya tinggal juga. Permusuhan boleh usai
karena berdamai. Namun hati yang pernah dan telah disakiti, sangat sulit
diobati.”
Jangan pernah meremehkan
perbuatan buruk, sekecil apapun itu. Jika bisa berbuat luhur dan baik, mengapa
masih juga menjahati orang lain semata akibat keserakahan tanpa mau melihat
akibat dari karma yang akan berbuah pada si pelaku itu sendiri? Bila kita
merasa berhak, maka orang lain pun berhak untuk merasa berhak yang sama. Hargai
hak-hak orang lain sebagaimana kita hendak dihargai.
Karena KWANG EARRINGS
adalah teman terbaik mu! 😊
0 comments
Ikuti juga sosial media kami pada business.facebook, dengan akun : "Expat 2 Local Thai" / @guideriana
Rincian layanan JasTip (Jasa Titip) produk Thailand, dapat dilihat pada menu "Jasa Pencarian, Jasa Titip, dan Pengiriman Produk Thailand ke Indonesia".
Rincian layanan Private Tour Guide di Bangkok-Thailand, dapat dilihat pada menu "Private Tour Guide Riana".
NOTE REDAKSI : Seluruh info kontak dalam website ini diperuntukkan khusus untuk tujuan pemesanan dan bagi pengguna jasa layanan yang kami tawarkan dalam website ini. Menghubungi kami diluar peruntukan tersebut, dimaknai sebagai menyalah-gunakan nomor / email kontak kerja profesi kami, tidak akan ditanggapi.
Mohon kesediaan menunggu sejenak bila belum ada tanggapan secara segera, karena faktor kesibukan atau karena lain sebab. Pemesanan akan kami respons sesegera yang kami mampu.
Konsumen / pengguna jasa dapat melakukan pemesanan pada nomor kontak / email yang tercantum dalam menu "HUBUNGI KAMI" atau pada rincian "contact person" di atas, bukan pada kolom komentar pada posting website.
Kami tunggu pesanan teman-teman sekalian dimana pun berada, akan kami kirimkan pesanan Anda dengan hati yang penuh kehangatan untuk Anda atau untuk buah hati dan keluarga yang Anda kasihi.
Salam hangat dari Bangkok, Thailand.
ttd
GUIDE RIANA & REMEMBERTHAI TEAM