Apakah yang membuat seorang
ilmuan selalu tampak lebih keren dan lebih hebat daripada jagoan bela diri manapun
yang bertubuh kekar dengan otot-otot yang bertonjolan seperti kaki seekor katak?
Karena kekuatan otak mereka,
lebih tepatnya karena kegigihan dan keuletan mereka. Melatih pikiran bisa sama
sukar atau bahkan lebih sukar ketimbang melatih otot. Banyak orang, merasa
lebih suka melakukan aktivitas fisik yang sekalipun berat namun tidak
membutuhkan kerja pikiran otaknya. Mintalah para buruh dan pekerja kasar untuk
mengerjakan perkalian atau hitungan algoritma, maka mereka akan cenderung
menyerah sebelum benar-benar mempelajari dan mencobanya. Bagi mereka, lebih
baik capai otot ketimbang capai otak (kepala)—setidaknya kepala tidak punya “otot”
kecuali berupa kerutan-kerutan pada otak.
Bagi seorang ilmuan, tidak
penting kalimat “bekerja keras”. Bagi seorang ilmuan, yang terpenting ialah “bekerja
(secara) cerdas” dengan otak mereka. Yang paling menarik dan bisa kita pelajari
dari cara berpikir seorang ilmuan ialah, dalam falsafah hidup mereka tidak mengenal
kata “tidak bisa” ataupun “mustahil”, namun “belum bisa” dan “perlu menemukan
jalannya”.
Pandangan serta cara berpikir
seorang ilmuan, tidak pernah berhenti ketika menemui rintangan dan kegagalan
dalam setiap eksperimen dan penemuan yang mereka kerjakan dan geluti. Dapat dikatakan,
seorang ilmuan merupakan para petualang sejati. Dapat juga dikatakan, seorang
ilmuan merupakan pejuang yang gigih karena tidak pernah menyerah menemui berapa
banyak pun kegagalan dalam penelitian yang dilakukan olehnya. Bagi mereka, peluang
tiada batasnya, batasannya ialah seberapa jauh tekad mereka sendiri.
Bagaikan seorang Cristopher
Colonimbus sang penemu benua baru, menjelajah tanpa pernah tahu apa hasilnya
dan bagaimana nasibnya, mengarungi laut seluas samudera yang asing, namun terus
melanjutkan perjalanan dan melakukan penemuan sampai akhirnya benar-benar menemukan—seperti
itu jugalah seorang ilmuan, tidak akan pernah tahu kemana penelitian yang ditekuninya
akan mengarahkan dirinya, namun yang diketahui olehnya ialah agar terus melanjutkan
penjelajahan sampai menemukan dan sampai dirinya berseru : “Oh, ini dia, akhirnya berhasil juga
ditemukan!”
Kita seharusnya merasa malu,
ketika menemukan satu atau dua kali kegagalan dan “jalan buntu”, maka akan
menyerah dan pasrah tertunduk lesu-lemas. Apakah seorang ilmuan pernah kita
saksikan seperti itu? Tidak, ribuan kali gagal melakukan penelitian guna menemukan
solusi pemecahan masalah, maka mereka justru akan semakin semangat melakukan
eksperimen baru dan melanjutkan penelitian, sekalipun memakan waktu sepanjang
hidup mereka seperti teladan yang diberikan oleh seorang Thomas Alfa Edison
yang divonis sebagai anak “bodoh” oleh gurunya sendiri.
Ketika KWANG mencoba mendalami
kehidupan para ilmuan, terutama ilmuan di Jepang, mereka untuk bisa menemukan
sesuatu benda atau ramuan temuan baru yang sebelumnya tidak pernah eksis dan
dianggap mustahil untuk terjadi, ternyata bisa juga pada akhirnya mewujudkan
impian yang dahulunya adalah “mustahil” (baca: keajaiban lewat karya seorang
ilmuan, seperti teknologi telepon seluler sebagai contoh), sekalipun memang
membutuhkan ketekunan dan pengorbanan waktu, tenaga, serta biaya selama
mencapai puluhan tahun lamanya.
Sebagai contoh sebuah keajaiban
berupa bulpen yang tintanya dapat dihapus seperti menghapus tulisan pensil,
pengembangan serta proses uji-cobanya dilakukan oleh ilmuan di Jepang bahkan
sejak tahun 1970-an sebelum kemudian menemukan kesulitan mengecilkan molekul
tinta agar tidak tersumbat pada mata pena, masalah pada mengentalnya tinta pada
suhu rendah, berubah warnanya tinta pada suhu tinggi, hingga bagaimana
menemukan kombinasi campuran bahan kimia agar tinta dapat berubah warna menjadi
transparan?
Barulah pada akhirnya pada akhir
tahun 2000, produk bernama pena yang dapat dihapus tintanya, rilis dan meledak
penjualannya di pasar Eropa dan Jepang hingga ke seluruh penjuru dunia tidak
terkecuali digemari dan cukup populer bagi masyarakat di Thailand maupun di Indonesia.
30 tahun lamanya, sang peneliti
meneliti bagaimana mewujudkan sebuah pena yang tintanya dapat hilang dihapus. Jika
sang ilmuan tidak tekun dan tidak gigih melanjutkan penelitiannya, mungkin pada
tahun ketiga atau kelima dirinya sudah akan menyerah, frustasi, dan membuang
semua impiannya itu ke tong sampah dan tidak ingin menyentuhnya lagi. Ketika mendengar
kisah tentang perjalanan hidup sang tokoh ilmuan, KWANG merasa diri ini sangat
kecil dan “cengeng”, belum segigih sang tokoh yang demikian seteguh tekad dan
perjuangan sang ilmuan.
Tentu, pastilah sang ilmuan
juga sama seperti kita, pernah merasa letih dan putus asa—mereka juga manusia
yang bisa merasa kecewa, lapar, haus, berkeringat, letih, dan terluka seperti
kita. Namun, apa yang membuat dirinya kembali bangkit dan melanjutkan
pekerjaannya yang “belum tentu berhasil” itu?
Berat sekali bukan, tanpa
jaminan ataupun kepastian akan berhasil atau tidaknya pekerjaan seorang ilmuan? TERUS MAJU SEKALIPUN TANPA
JAMINAN APAPUN, bisakah kita? Pepatah berikut ini mungkin dapat coba kita
terapkan dalam kehidupan sehari-hari dan perjalanan hidup kita:
“Kadang-kadang kita harus melangkah mundur untuk mempersiapkan diri agar
bisa melangkah ke depan.” (Anonim)
Seorang ilmuan, merupakan
simbol perpaduan unik dimana hasil olah kemampuannya bahkan dapat membelah bumi
ini atau untuk membangkitkan energi listrik sebagaimana para penemu teori
nuklir. Sebaliknya, seseorang yang hanya memadukan unsur kerja dan latihan
otot, sekeras apapun ia berlatih dan berusaha sepanjang hidupnya, hanya dapat mengangkat
satu ekor banteng, namun tidak akan pernah dapat mengangkat sebuah gunung yang
akan sangat dengan mudah sekali dilakukan oleh seorang ilmuan. Sebenarnya siapakah
dan makhluk semacam apakah seorang ilmuan itu?
“Kesuksesan seorang ilmuan selalu merupakan hasil perpaduan atau
kombinasi simultan antara kerja otak, kerja hati, dan kerja keras. Itulah keajaiban
yang mereka andalkan selama ini.” (Anonim)
Mereka yang tidak berjuang
sekeras dan segigih para ilmuan hebat itu, hanya patut “gigit jari” mendapati
diri mereka hanya berhenti sebagai seorang penonton dan cukup merasa puas sebagai
seorang konsumen semata. Tidak lebih dari itu, yang bahkan tenggelam ke dalam
bumi sekalipun tiada yang akan mengenali.
Sebaliknya, seorang ilmuan,
bisa menemui kegagalan besar selama bertahun-tahun dan selama demikian
panjangnya proses penelitian dan keringat yang telah dikerahkan, namun juga
bisa menemukan keberhasilan besar. Ada pengorbanan, ada hasilnya, dan buahnya
sama besarnya dengan besar pengorbanan itu sendiri, sebagaimana tercermin dalam
pepatah berikut ini:
“Sukses kita merupakan tanggung jawab kita sendiri, demikian pula
kegagalan kita.” (Anonim)
Kegagalan, kata yang sangat
ditakutkan oleh kebanyakan oleh kita, namun tidak bagi seseorang berjiwa
ilmuan. Apa yang menjadi pembeda paling utama dari orang kebanyakan dan seorang
ilmuan? Jawabannya ternyata terletak pada “cara berpikir” (mind set) itu sendiri, sebagaimana ungkapan berikut:
“Seseorang dengan sikap negatif akan melihat masalah dalam setiap
kesempatan, sedangkan seseorang dengan sikap positif akan melihat kesempatan
dalam setiap masalah.” (Anonim)
Apakah artinya, seorang ilmuan
adalah orang-orang yang memiliki lebih banyak sumber daya waktu ketimbang kita?
Sama sekali tidak, waktu seorang ilmuan adalah 24 jam dalam sehari, 7 hari
dalam seminggu, 365 hari dalam setahun, sama seperti kita semua pada umumnya.
Anehnya, orang kebanyakan
selalu merasa “sok sibuk”, selalu bersikap seolah “tidak punya waktu”, namun
kerap kali waktunya dihabiskan untuk hal-hal kurang produktif, tidak positif,
bahkan untuk hal-hal tetek-bengek tidak bermanfaat seperti senda-gurau ngolor-ngidul
membicarakan gosip.
Kontras dengan itu, sekalipun seorang
ilmuan kerap menemui kegagalan dalam percobaannya di laboratorium, namun justru
kalangan ilmuan adalah kalangan yang sangat menghargai waktunya, dengan menjiwai
betul pepatah berikut ini:
“Gunakan waktu sebaik-baiknya karena waktu adalah peluang Anda untuk
melakukan sesuatu dan tidak dapat diputar ulang.” (Anonim)
Banyak diantara kita, yang
tidak pernah mencapai prestasi apapun, karena kebanyakan dari mereka adalah seorang
“penunda” yang sangat pandai dalam menunda dan mencari-cari “alasan sempurna” guna
menunda dan kembali menunda—percayalah, selalu akan ada alasan yang dapat kita
temukan untuk berdalih dan menunda.
Terlalu dingin untuk memulai
aktivitas pagi, dan terlampau panas untuk memulai usaha pada siang hari,
terlalu gelap untuk malam hari, itulah sindiran Sang Buddha bagi seseorang yang
gemar menunda segala sesuatunya—seolah masalah bisa lenyap secara sendirinya
seiring waktu tanpa dituntaskan segera, yang pada akhirnya kian menumpuk. Bila ada
diantara kita yang hendak menjadi seseorang berjiwa ilmuan, inilah yang perlu
kita mulai lakukan dan biasakan:
“Tidak ada langkah ke seribu apabila tidak dilakukan langkah pertama,
karena itu lakukan, dan jangan suka menunda apa yang memang seharusnya kita
kerjakan.” (Anomim)
Bila ada yang berpikir bahwa
seorang ilmuan adalah “bodoh” karena kerap menemui banyak kegagalan, maka
mereka yang memiliki pemikiran semacam itu sendirilah yang paling bodoh
senyatanya. Orang-orang yang hidup dalam “zona nyaman” dan “zona aman” (comfort zone), memang tidak pernah gagal
dalam berusaha, juga tidak akan pernah berbuat kesalahan sehingga tidak dapat dipersalahkan—namun
mereka bahkan telah “gagal untuk mencoba” sejak dari semula, dan gagal
menjalankan hidupnya sebagaimana mestinya. Untuk itu kembali KWANG kutipkan
nasehat berikut ini yang sangat mencerminkan:
“Hanya yang berbuat lebih, yang akan pantas menerima lebih
pula.”
(Anonim)
Apakah para ilmuan tersebut
merasa “merugi” karena menemui banyak hambatan, rintangan, serta kegagalan
sepanjang usaha mereka meneliti dan bekerja? Jawabannya adalah sebagai berikut,
karena bisa sangat mengejutkan sebagian diantara kita tentunya:
“Guru ditemukan di ruang kelas, tetapi guru yang terbaik tetap adalah
pengalaman kita sendiri dan praktik nyata alih-alih pandai berteori.” (Anonim)
Miskin kegagalan, miskin pengalaman.
Mereka yang bahkan tidak berani mengambil resiko, tidak akan pernah beranjak
kemanapun, tiada pendewasaan, bahkan akan tertinggal di belakang. Karenanya,
jangan pernah salahkan mereka yang berani mengambil resiko dan mengalami resiko
terburuk yang mungkin dapat terjadi, karena segala sesuatunya pasti memiliki
resiko.
Umur kita boleh panjang, umur
kita boleh sudah demikian tua hampir separuh atau bahkan satu abad panjangnya. Namun,
bukanlah itu yang terpenting. Berikut inilah yang paling terpenting untuk kita
pahami bersama dan coba renungkan:
“Yang terpenting adalah bukan berapa lama kita bekerja, tetapi apa
yang kita kerjakan dalam waktu yang lama itu.” (Anonim)
Pendidikan formil di Indonesia,
lebih banyak menekankan “setor wajah” dan presensi, namun minim makna, tidak
sarat esensi kehadiran guru dan murid di ruang kelas. Pembelajaran menjadi
demikian formalistik, sekadar membuang waktu, buang umur, dan kurang substansi.
Begitupula ketika mereka
menjelma Pegawai Negeri Sipil di kantor-kantor pemerintahan di Indonesia, sekadar
patuh hadir secara fisik untuk mengisi presensi lalu kemudian sibuk sendiri
tanpa kegiatan yang jelas, karenanya prestasi mereka terbilang minim dan
kurangnya inovasi dalam pelayanan terhadap masyarakat.
Mengapa kita harus merasa
khawatir ketika kita hanya “duduk manis” dan tiada menempuh perjalanan dengan
segala resiko layaknya seorang penjelajah ataupun ilmuan? Peringatan berikut
ini perlu kita ingat betul-betul sebagai cambuk pelecut bagi kita untuk mulai
sadar dan bangkit dari kursi empuk kita:
“Ketika seseorang berbuat kesalahan itu berarti dia telah berbuat
sesuatu, bila tidak ada kesalahan artinya tidak ada sesuatu pun yang
dilakukan.” (Anonim)
Apa gunanya memiliki potensi
serta sumber daya kecerdasan berupa IQ tinggi, waktu melimpah, hingga tubuh
yang utuh bila tidak diberdayakan secara optimal? Sepanjang tidak digunakan
untuk merugikan ataupun menyakiti orang lain, makhluk hidup lainnya, maupun
lingkungan hidup, maka gali potensi diri kita hingga kebagian terdalam,
sesuai pepatah berikut ini yang cukup relevan bagi kita dengarkan:
“Potensi diri Anda hanya punya arti apabila diwujudkan.”
“Kesalahan terbesar seseorang adalah ketakutan untuk berbuat kesalahan.” (Anonim)
Sobat hendak menjadi yang
manakah? Menjadi “pemain” ataukah cukup merasa puas sebagai seorang komentator,
konsumen, dan/atau sebatas sebagai penonton saja? Nasehat penutup berikut
memberikan kita pilihan, pilihan mana ada di tangan kita masing-masing:
“Ada dua jenis orang di dunia, pertama adalah aktor, orang yang berinisiatif
dan berkreasi untuk melakukan sesuatu. Kedua, adalah seoang “reaktor”,
orang yang berbuat untuk menanggapi sebuah peristiwa.” (Anonim)
Selamat berkarya untuk Sobat-ku
semua! Karena KWANG EARRINGS adalah teman terbaik mu! 😊
0 comments
Ikuti juga sosial media kami pada business.facebook, dengan akun : "Expat 2 Local Thai" / @guideriana
Rincian layanan JasTip (Jasa Titip) produk Thailand, dapat dilihat pada menu "Jasa Pencarian, Jasa Titip, dan Pengiriman Produk Thailand ke Indonesia".
Rincian layanan Private Tour Guide di Bangkok-Thailand, dapat dilihat pada menu "Private Tour Guide Riana".
NOTE REDAKSI : Seluruh info kontak dalam website ini diperuntukkan khusus untuk tujuan pemesanan dan bagi pengguna jasa layanan yang kami tawarkan dalam website ini. Menghubungi kami diluar peruntukan tersebut, dimaknai sebagai menyalah-gunakan nomor / email kontak kerja profesi kami, tidak akan ditanggapi.
Mohon kesediaan menunggu sejenak bila belum ada tanggapan secara segera, karena faktor kesibukan atau karena lain sebab. Pemesanan akan kami respons sesegera yang kami mampu.
Konsumen / pengguna jasa dapat melakukan pemesanan pada nomor kontak / email yang tercantum dalam menu "HUBUNGI KAMI" atau pada rincian "contact person" di atas, bukan pada kolom komentar pada posting website.
Kami tunggu pesanan teman-teman sekalian dimana pun berada, akan kami kirimkan pesanan Anda dengan hati yang penuh kehangatan untuk Anda atau untuk buah hati dan keluarga yang Anda kasihi.
Salam hangat dari Bangkok, Thailand.
ttd
GUIDE RIANA & REMEMBERTHAI TEAM