By SHIETRA - December 29, 2019
Yang pernah tinggal dan menetap
di Indonsia, tentunya pernah melihat atau bahkan mengalami langsung, menjadi
korban pungutan liar atau bahkan terpaksa harus “menyuap” Aparatur Sipil Negara
atau yang sering dijuluki juga sebagai Pegawai Negeri Sipil semata agar tidak
dipersulit, diperlama, bahkan sama sekali tidak dilayani sebagaimana mestinya
sekalipun segala persyaratan telah dipenuhi. Kejadian semacam itu, terjadi
secara masif dan seolah sukar diberantas, alias “membudaya” dan seolah
“mendarah-daging” seperti ketika produk tembakau dianggap sudah sebagai
“kebutuhan primer” masyarakat Indonesia.
Tidak jarang pula,
terang-terangan pungutan liar dilakukan secara berjemaah dan seolah tidak
tersentuh oleh hukum (hukumnya serta aparatur penegak hukumnya juga sama
korup-nya), sementara para pelakunya saling melindungi lewat semangat “korps”
membangun dinasti korup atau instansi berjiwa korup hingga negara korup, yang
pada gilirannya menjadikan masyarakat seolah sebagai objek “sapi perahan” yang
dihisap bagai parasit gemuk yang selalu kelaparan tanpa kenal puas sekalipun
rakyat telah banyak menjerit kesulitan hidupnya masih juga menjadi objek
pungutan liar dan pemerasan terselubung para Aparatur Sipil Negara.
Pemberitaan mengenai praktik
pungutan liar serta korupsi di Indonesia, sudah menjelma “berita basi” yang
sama membosankannya dengan siaran berita radio tentang info kemacetan yang sama
di ruas jalan yang sama setiap harinya sehingga bukan lagi berita mengejutkan
untuk diberitakan kepada publik.
Seolah, para Pegawai Negeri
Sipil tersebut tidak mendapat gaji oleh negara untuk membeli makanan bagi
keluarganya, sekalipun cara kerjanya lebih sering “duduk-duduk minum kopi” dan
mengobrol ngolor-ngidul sembari menghisap cerutu, sama sekali tidak produktif
dalam melayani masyarakat—sementara pada loket pelayanan hanya terdapat
beberapa petugas yang melayani sekalipun antrian warga telah “mengular”
sehingga sangat membuang-buang waktu masyarakat. Mereka selama ini selalu
memainkan trik klasik : Jika bisa dipersulit, mengapa dipermudah? (baca
: “mental korup”.)
Mungkin akibat falsafah yang
melekat pada para Pegawai Negeri Sipil pada berbagai instansi pemerintahan di
Indonesia, seolah masyarakat yang “menghamba” pada mereka, bukan para Pegawai
Negeri Sipil tersebut yang “menghamba” pada rakyat sipil selaku pembayar pajak
yang membayar gaji mereka selama ini (bagai “anak durhaka”, bagai pepatah
“membalas air susu dengan dihisap dan penghisapan”).
Bagi mereka, yang menggaji
mereka ialah atasan mereka selaku pejabat negara, bukan rakyat—karenanya, dapat
menjadi bumerang ketika “uang (pajak dari) rakyat” dikemas dengan istilah “uang
(milik) negara”, sehingga para Pegawai Negeri Sipil tersebut hanya bersikap patuh
serta penuh pelayanan kepada atasan mereka di pemerintahan yakni para pejabat
negara, bukan rakyat sipil yang justru harus “mengemis-ngemis” meminta agar
dirinya dilayani sebagaimana mestinya selaku rakyat.
Konsep ketatanegaraan dan
administrasi pemerintahan di indoensia, masih menyerupai paradigma mental
kolonialisasi zaman kerajaan atau dinasti dimana rakyat yang “menghamba” pada
pejabat negara, bukan benar-benar menyerupai negara republik yang demokratis
dimana pemerintah dan segenap aparaturnya yang “menghamba” pada masyarakat
umum. Bungkus luar Negeri Indonesia, dan wajah asli dibaliknya ternyata
bertolak-belakang, otokrasi ala dinasti-tiran berkedok “jubah” Republik.
Di Amerika Serikat, filosofinya
sangat berbeda, dimana mereka yang dibayarkan gajinya dari pajak yang dibayar
rakyat, disebut dan menyandang gelar sebagai “civil servant”—yang bila diterjemahkan bermakna sebagai
“pegawai (bagi) rakyat” sehingga harus dan punya kewajiban untuk
melayani masyarakat umum secara sebaik-baiknya layaknya bawahan kepada “bos
besar” (rakyat sipil), bukan sebaliknya dimana rakyat seperti menghadap seorang
“raja” ketika mendatangi kantor pemerintahan.
Sekalipun pada Pegawai Negeri
Sipil di Indonesia sejatinya telah mendapat gaji dengan level diatas rata-rata
penghasilan penduduknya, bahkan mendapat pula gaji ke-14 dalam setahun masa kerja,
lengkap dengan segala fasilitas serta remunerasinya, faktanya tetap saja
praktik pungutan liar dan korupsi tidak terbendung.
Lagi-lagi rakyat sipil yang
menjadi korbannya, dikorbankan serta dihisap bagai lintah parasit yang memiliki
kekuasaan monopolistik dalam pelayanan publik. Padahal, rakyat sipil yang
mereka “peras” dan mintakan “pungutan liar” bisa jadi menghadapi resiko merugi
dalam usahanya, sekalipun sang Aparatur Sipil Negara tidak memiliki resiko yang
sama sekalipun negara defisit anggaran gaji mereka tetap diberikan. itulah yang
disebut sebagai “tidak tahu diri” alias “serakah” atau “egoistik”.
Itulah juga tepatnya yang KWANG
sebut sebagai “mental pengemis”. Sama juga, ternyata sebagian rakyat di
Indonesia pun menunjukkan perilaku serupa, seperti aksi tipu-menipu, mencuri,
merampok, kejahatan penggelapan, pemalsuan, hingga tanpa mau menyadari hak-hak
atas nafkah penyedia / penjual jasa seperti psikolog, konsultan pajak, dan lain
sebagainya. Jika perlu, meminjam hutang namun ketika ditagih, berbagal dalih
dilontarkan dengan maksud untuk berkelit dan lari dari tanggung jawab melunasi,
atau jika perlu menggugat kreditornya sendiri dengan dana hasil pinjaman yang
tidak dikembalikan.
“Mental pengemis” membuat
mereka yang terjangkit oleh mental demikian akan dikuasai oleh keserakahan,
sehingga menyerupai lintah, akan terus menghisap tanpa pernah mau perduli
betapa sudah gemuk dirinya dan betapa korbannya akan tewas terhisap hingga
kering habis. “Mental pengemis”, dengan demikian, menjadi biang keladi dari
munculnya “mental-mental serakah”, yang pada gilirannya bermuara pada sifat
bernama “mental tidak tahu malu dan tidak punya malu”.
Sekalipun korban mereka lebih
miskin adanya, namun sang pelaku tetap saja tanpa rasa malu merasa senang dan
bangga dapat kembali menghisap, menghisap, dan menghisap—seolah itulah prestasi
mereka satu-satunya yang patut dibanggakan, kebanggaan yang tidak sehat.
Ujungnya, “urat malu” sang pelaku menjadi “putus” (alias “putus sudah urat
malunya”).
Namun biarlah, ada Hukum Karma
ketika Hukum Negara tidak dapat diandalkan karena sama korup dengan perilaku
legislator yang membuat Hukum Negara—belum lagi aparatur penegak hukum itu
sendiri yang lebih perlu dihukum ketimbang pelanggaran di luar sana. Toh, harta
tidak bisa dibawa mati, hanya Karma yang akan dibawa mati dan diwarisi oleh si
pembuatnya sendiri.
Kedua, yang paling merugikan
bagi para penderita penyakit sosial bernama “mental pengemis”, ialah dirinya
selalu merasa berkekurangan, alias senantiasa merasa miskin sehingga tangannya
selalu menengadah ke atas untuk meminta, meminta, dan meminta—jadilah pengemis
dalam arti yang sesungguhnya, untuk seumur hidupnya.
Master Cheng Yen pernah berpesan, yang hebat itu
bukanlah orang yang menengadahkan tangan ke atas (alias meminta), namun yang
menengadahkan tangan ke bawah (alias memberi). Itulah kerugian paling utama
dari mereka yang “bermental miskin”.
Seorang pengemis, hanya dapat
meminta, dirinya tidak punya kemampuan terlebih niat untuk memberi, berdana,
dan menanam Karma baik. Bagaimana mungkin seorang pengemis berbuat kebaikan
bila sepanjang hidupnya hanya tahu cara menghisap, sibuk menghisap, dan hanya
pandai untuk menghisap secara jahat?
Itulah “harga mahal” yang harus
dibayarkan oleh orang-orang “bermental miskin”, sekalipun pada tampak
permukaannya mereka tampak “beruntung” karena memiliki segala harta-kekayaan
berkat berbagai uang “sogokan” hasil gratifikasi hingga berbagai pungutan liar
hingga harta hasil aksi korupsi. Si dungu, akan “bersenang-senang dahulu,
bersakit-sakit kemudian” (kebalikan dari peribahasa “berakit-rakit ke hulu,
berenang-renang ke tepian”). Orang-orang dengan mental yang telah sakit, tentu
akalnya juga telah sakit, karena para pelakunya tersebut merasa tenang-tenang,
senang-senang saja, bahkan bangga “menggali lubang kuburnya” sendiri seolah
sebagai prestasi yang patut dibanggakan.
Sebaliknya, mereka yang
“bermental kaya”, selalu merasa berkelimpahan, selalu mengenal kata puas, dan
selalu rajin menanam Karma baik lewat berdana dan memberi—mereka tidak akan pernah
merasa butuh untuk memeras, mencuri, menipu, meminta tanpa hak, terlebih
mempersulit orang lain guna meminta pungutan liar dan gratifikasi, lebih-lebih
aksi jahat seperti korupsi. Karena mereka selalu merasa “berkecukupan” dan tahu
bersyukur.
Orang-orang “bermental kaya”,
tidak harus benar-benar kaya secara materi. KWANG mengenal beberapa orang di
Indonesia, yang sekalipun hidup serba “pas-pasan” alias berkecukupan hanya
untuk makan sehari dua kali, namun masih gemar berdana dan memberi bagi orang lain.
Dirinya tidak pernah tertarik untuk mencuri terlebih merampok nasi dari piring
orang lain. Kemiskinan materi tidak menjadi alasan untuk tidak berdana.
Orang-orang “bermental miskin”,
penyakitnya lebih parah ketimbang pengemis biasa. Seorang pengemis, tidak
mencari makan dengan cara merampok nasi dari piring orang lain. Seorang
pengemis hanya sekadar meminta-minta tanpa merugikan orang lain, tidak juga
memaksa dan memeras. Sebaliknya, orang-orang dengan “mental miskin”, akan tega
dan tidak malu untuk merampok nasi dari piring orang lain yang bisa jadi
lebih miskin daripada dirinya. Lucu memang, namun itulah realitanya di
Indonesia seperti yang selama ini dapat KWANG alami dan saksikan sendiri.
Untuk itu KWANG akan bercerita
pula pengalaman KWANG ketika dahulu pernah bekerja pada suatu kantor di
Jakarta, Indonesia. Karyawan kantor tersebut “lucu”, menghutang dari dana kas
iuran pegawai yang dipotong dari gaji bulanan masing-masing pegawai, namun
tidak membayar kembali hak pegawai yang terpotong gajinya setiap bulan pada
saat KWANG resign dari kantor
tersebut, senilai ratusan ribu Rupiah (nilai yang tidak sedikit pada waktu itu),
padahal yang dihutangi (yakni KWANG) saat itu hanya dapat makan siang sederhana
sekali super hemat dibawa dari rumah, tapi yang menghutang (sesama pegawai yang
berhutang) justru makan mewah dan bersenang-senang di tempat makan jualan di
lingkungan gedung kantor tanpa berhemat dengan membawa bekal seadanya dari
rumah—alias, yang berhutang hidupnya lebih gembira dan boros ketimbang yang dihutangi.
Ketika hendak ditagih, mereka semua menghilang. Lucu, dan sebanyak apapun KWANG
memikirkan kejadian demikian, semakin tidak logis adanya. Akal sehat tidak akan
mampu memahami “akal sakit milik orang yang sakit mentalnya”.
Ya sudah, vonis dari KWANG bagi
mereka, selamanya mereka hidup tidak akan dapat berbuat kebaikan, karena mereka
mengidap penyakit parah bernama “mental pengemis”. Alih-alih berbuat kebaikan
sepanjang hidup mereka, mereka lebih senang dan lebih terampil dalam memakan
apa yang bukan haknya, mengambil apa yang bukan haknya, dan selalu kelaparan
sebanyak apapun mereka telah memakan. Ironis, namun fakta empirik demikian
dapat mudah kita jumpai di Jakarta, sang kota metropolitan yang ternyata watak
warganya tidak sedikit yang “kampungan” sekalipun berpendidikan cukup tinggi.
Lalu, adakah serum atau vaksin
agar kita tidak terjangkit virus “mental pengemis”? Ada, dan untuk itulah KWANG
merasa perlu untuk mengutipkan nasehat bijak yang pastinya juga Sobat sukai
mendengarkannya dan untuk diingat selalu:
“Pemenang mengikuti prinsip bernama filosofi empati : ‘Jangan lakukan
terhadap orang lain apa yang kita tidak ingin mereka lakukan terhadap kita’;
sementara seorang Pecundang mengikuti filosofi : ‘Lakukan terhadap orang lain
sebelum mereka melakukannya terhadap Anda.’” (Anomim)
Terkadang lucu juga jika
dipikirkan, masyarakat di Indonesia menyatakan menolak koruptor, agar koruptor
dihukum gantung, menghujat koruptor, namun terkadang dirinya sendiri berperilaku
“korup”. Secara akal sehat, jika seorang penipu yang hidup dari aktivitas
tipu-menipu, semestinya dirinya tidak boleh marah ketika pada gilirannya
tertipu oleh orang lain. Bukankah begitu semestinya?
Mungkin hanya di Indonesia
dimana akal sehat tidak berlaku, pihak yang berbuat kesalahan justru lebih
galak ketimbang korbannya yang sudah dirugikan dan disakiti olehnya.
Pengendara yang berkendara melawan arus, justru lebih galak daripada pejalan
kaki yang berjalan di trotoar (sering sekali terjadi, pada seluruh ruas jalan
di Jakarta), dimana perilaku demikian juga termasuk dalam kategori “mental
pengemis”—seumur hidup mereka hanya sibuk dan pandai menimbun Karma buruk,
tidak akan pernah bisa menanam kebajikan dalam hidupnya, namun hanya pandai
merampas hak-hak warga lainnya seolah martabat serta harkat warga lain lebih
rendah darinya. Karenanya, jika ingin menyaksikan “museum hidup raksasa”
perilaku semacam “mental pengemis” ataupun “yang salah lebih galak daripada
korbannya”, maka bisa berkunjung ke “taman safari” dan “taman kanak-kanak”
bernama Indonesia.
Ternyata juga, kita harus
belajar bagaimana cara menjadi “manusia”. Kita tidak secara sendirinya menjadi
“orang” hanya karena terlahir dengan tubuh sebagai “manusia”. Karenanya, di
Tiongkok ada istilah “menjadi orang”, maksudnya ialah kita perlu mendidik diri
kita sendiri agar tidak berperilaku seperti hewan yang tidak kenal malu dan
tidak mau tahu apa itu benar dan mana yang salah. Berikut kutipan nasehat bijak
lainnya yang indah dan puitis dari Mahatma Ghandi:
“Tujuh hal menghancurkan kita:
Kekayaan tanpa kerja;
Pengetahuan tanpa karakter;
Bisnis tanpa moralitas;
Ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan;
Ibadah tanpa pengorbanan (alias hanya mau mengorbankan); dan
Politik tanpa prinsip.”
Mengambil serta meminta (dengan
unsur pemaksaan, jika tidak maka publik tidak akan dilayani meski itu adalah
kewajibannya melayani masyarakat, dan adalah hak rakyat untuk dilayani) apa
yang bukan menjadi haknya, adalah hutang, bukan sebuah penghasilan yang patut
untuk dimakan ataupun dikumpulkan.
Rasanya adalah cukup bodoh, jika
tidak dapat disebut sebagai telah “hilang kewarasan”, bila seseorang memilih
mengisi hidupnya dengan jeratan hutang yang menjerat lehernya sendiri hingga
hutang yang bertumpuk setinggi gunung pada gilirannya harus ditanggung oleh
pundaknya saat ajal menjelang.
Kematian, suatu hal yang pasti
akan kita hadapi, cepat ataupun lambat, bukanlah ajang pembebasan dari hutang,
namun justru adalah ajang pembayaran segala hutang-hutang mereka selama
hidupnya. Untuk itu, KWANG kutipkan nasehat bijak yang semestinya dapat membuat
mereka takut dan mulai berbenah diri:
“Siapa yang menggali jebakan untuk orang lain, akan jatuh sendiri.” (Peribahasa Jerman)
Tiada yang betul-betul dapat
kita curangi dalam hidup ini, segala hal, baik besar maupun yang kecil, yang
diingat maupun yang tidak diingat, yang diakui maupun yang tidak dakui, semua
terekam oleh Hukum Karma yang akan kita warisi sendiri. Hutang yang tidak
dibayarkan pada saat si penghutang masih hidup, selalu dapat ditagih di alam
baka setelah dirinya meninggal. Jika perlu, beserta segala bunga dan denda atas
hutang tersebut. Hutang selamanya ialah hutang—lupa ataupun ingat, hidup
ataupun mati, hutang tetaplah hutang sebagaimana rekaman sejarah (Karma) tidak pernah
dapat dihapus lewat pengingkaran.
Sudahkah kita menjadi orang
baik dalam kehidupan kita sekarang ini? Apa sajakah yang telah kita tanam
selama hidup kita sekarang ini? Karena KWANG EARRINGS adalah teman
terbaik mu! 😊
0 comments
Ikuti juga sosial media kami pada business.facebook, dengan akun : "Expat 2 Local Thai" / @guideriana
Rincian layanan JasTip (Jasa Titip) produk Thailand, dapat dilihat pada menu "Jasa Pencarian, Jasa Titip, dan Pengiriman Produk Thailand ke Indonesia".
Rincian layanan Private Tour Guide di Bangkok-Thailand, dapat dilihat pada menu "Private Tour Guide Riana".
NOTE REDAKSI : Seluruh info kontak dalam website ini diperuntukkan khusus untuk tujuan pemesanan dan bagi pengguna jasa layanan yang kami tawarkan dalam website ini. Menghubungi kami diluar peruntukan tersebut, dimaknai sebagai menyalah-gunakan nomor / email kontak kerja profesi kami, tidak akan ditanggapi.
Mohon kesediaan menunggu sejenak bila belum ada tanggapan secara segera, karena faktor kesibukan atau karena lain sebab. Pemesanan akan kami respons sesegera yang kami mampu.
Konsumen / pengguna jasa dapat melakukan pemesanan pada nomor kontak / email yang tercantum dalam menu "HUBUNGI KAMI" atau pada rincian "contact person" di atas, bukan pada kolom komentar pada posting website.
Kami tunggu pesanan teman-teman sekalian dimana pun berada, akan kami kirimkan pesanan Anda dengan hati yang penuh kehangatan untuk Anda atau untuk buah hati dan keluarga yang Anda kasihi.
Salam hangat dari Bangkok, Thailand.
ttd
GUIDE RIANA & REMEMBERTHAI TEAM