Dalam psikologi Buddhisme,
orang yang sedang dalam kondisi “perut lapar” adalah seseorang yang belum siap
dan labil secara mental-emosinya. Karenanya, sebelum Sang Buddha membabarkan
Dhamma, biasanya para pendengarnya dipastikan dahulu tidak dalam kondisi tidak
siap mendengarkan ajaran Sang Buddha.
Aplikasi psikologi Buddhisme
demikian, seringkali berhasil diterapkan guna meredam aksi-aksi anarkis para
demonstran ilegal yang tidak jelas asal-usul ataupun penyuruh terlebih maksud
dan tujuannya berdemo dan berorasi, yakni memberikan mereka makan dan minum. Biasanya
ketika mereka kenyang, kondisi emosional mereka akan kembali stabil dan otak
mereka akan dapat berfungsi lebih baik, karenanya dapat diajak bicara secara
lebih logis dan berakal sehat. Biasanya, setelah kenyang diberi makan, mereka
akan pulang dengan tertib secara sendirinya, dan niat jahat para demonstran “bayaran”
demikian tidak akan berhasil terlalu mengganggu.
Sama halnya, terbeda dengan orang-orang
dalam kondisi perut kosong kelaparan, orang-orang dalam kondisi yang tidak
kondusif seperti sedang keletihan akibat beban pekerjaan ataupun
sehabis bekerja keras seharian, emosinya sangat labil. Tunggulah sampai
emosinya stabil dan melepas letih, maka biasanya akal sehatnya kembali jernih.
Bila kita mencari “gara-gara” dengan
“mencoba-coba” seseorang yang sedang dalam kondisi letih, maka hal tersebut
akan mudah sekali menyulut emosi meluap-luap orang yang sedang dalam kondisi
teramat letih. Memang, kedengarannya tidak masuk akal, bagaimana mungkin orang
yang sudah letih, punya tenaga untuk emosian dan marah-marah? Namun, jangan
tanya soal itu, coba sendiri untuk mengetahui mengapa orang yang sedang letih
ataupun sedang dalam kondisi kelaparan, mudah sekali tersulut emosinya serta marah-marah
demikian reaktif.
Lihatlah negara-negara Eropa ketika
dilanda Revolusi Industri, kalangan buruh hendak menjungkalkan pemerintah yang
berkuasa karena para buruh sedang kondisi perut kelaparan menjerit-jerit minta
diberi makan, atau seperti kondisi di Indonesia saat jatuhnya era Orde Lama
lewat aksi mahasiswa yang menyudutkan pemerintahan yang berkuasa akibat rakyat
dijerat kemiskinan dan kondisi orang-orang di jalanan kelaparan akut.
Sehingga, dapat pula kita
sebutkan : Bukan soal apa substansi yang hendak kita sampaikan pada mereka,
namun yang terpenting ialah bagaimana kita menyampaikan dan kondisi yang
tepat untuk menyampaikannya.
Seorang diplomat yang
diplomatis, biasanya terlatih untuk hal satu itu, sehingga dirinya menjadi
demikian terampil dan menjadi pandai dalam membaca situasi, kapan
dirinya harus diam, dan kapan dirinya harus berbicara, serta kepada siapa ia
harus berbicara. Sehingga, seringkali bukan soal pesannya yang menjadi masalah,
namun perihal kepekaan (salah satu bagian dari Kecerdasan Emosional “emotional quotien”, EQ). Melatih Kecerdasan
Emosional, artinya melatih “kepekaan” diri kita sendiri.
Ketiga, yang tidak kalah
penting, dan biasa banyak luput disadari kebanyakan dari masyarakat kita, ialah
asumsi keliru yang sangat fatal, bahwa seolah orang-orang suci akan diam
saja ketika disakiti. Orang-orang suci, bukanlah “mangsa empuk” bagi orang-orang
nakal maupun orang yang jahil dan usil kelakuannya. Dan orang suci bukanlah
mayat yang hanya bisa terbujur kaku membisu.
Orang-orang baik maupun orang suci
bukanlah orang-orang untuk “dikerjain” ataupun untuk “dipermainkan”. Hanya seorang
pengecut, yang hanya berani mempermainkan orang-orang baik dan suciwan yang jelas-jelas
tidak akan membalas kejahatan dengan kejahatan serupa, terlebih membalas
kekerasan fisik dengan kekerasan fisik serupa.
Namun demikian, yang hendak
KWANG garis-bawahi dan berikan penegasan dalam kesempatan ini ialah, bukan
berarti orang suci (kaum suciwan) tidak bisa merasa lapar, merasa letih,
merasakan perasaan yang wajar juga dialami manusia-manusia lainnya yang dapat terluka
dan merasakan sakit ketika disakiti.
Itulah sebabnya, baik Jataka
(salah satu bagian dari Sutta Pitaka, Tripitaka) maupun Ajahn Brahm pernah
berkata, “Orang suci sekalipun,
sesekali harus BERDESIS—asalkan tidak menggigit.” Mengapa demikian?
Tidak lain ialah orang suci sekalipun memiliki tanggung-jawab untuk melindungi
dirinya dari ulah tangan-tangan jahil dan usil manusia-manusia nakal yang tidak
betanggung-jawab.
Contoh sederhana berikut KWANG
harapkan dapat cukup memberikan penjelasannya untuk lebih memudahkan pemahaman
para pembaca. Seseorang yang selama ini hidup secara jujur, tidak pernah berbohong
terlebih mencuri, suatu ketika secara jahat oleh orang lain dituduh telah
mencuri. Kira-kira, orang baik tersebut akan marah ataukah tidak? Selama ini
dirinya dengan susah-payah hidup secara jujur, maka
mengapa balasannya ialah “air susu dibalas air tuba”? Analogikan kembali dengan
orang yang sedang dalam kondisi lapar atau letih, emosinya wajar menjadi labil dan
mudah tersulut ketika dirinya diperlakukan tidak adil ataupun tidak patut.
Contoh berikut lainnya yang
juga sederhana namun cukup mewakili, ialah sebagai sahabat kita membantu bisnis
sahabat kita. Dengan susah-payah kita mengumpulkan uang dalam tabungan dari
hasil bekerja keras dari muda hingga dewasa, sebelum kemudian kita pinjamkan
kepada seorang teman, namun oleh teman tersebut uang pinjaman demikian dibawa
kabur tanpa dikembalikan. Kira-kira, apabila si korban menjadi murka dan marah-marah,
apakah artinya si korban adalah orang yang tidak baik dan sama jahatnya, karena
“tidak sopan” marah-marah demikian?
Karena itulah, penting untuk
melatih keterampilan interpersonal bernama “Kecerdasan Emosional” berupa empati
serta simpati. Empati, artinya kemampuan seseorang untuk dapat memahami
dan menyadari suasana hati, latar belakang kehidupan pribadi personalnya,
kondisi, masalah, serta situasi yang dihadapi oleh seseorang yang bisa jadi
bobot “berat hidupnya” tidak sama dengan kita. Bahasa lainnya, turut merasakan dan mampu turut prihatin.
Simpatik dan mampu bersimpati, artinya ketulusan untuk mau
memahami dan saling memikul bersama-sama, bukan justru menambah berat pada
beban yang dipikul pada bahu dirinya tersebut selama ini. Pepatah indah yang
sangat KWANG sukai berikut ini sengaja KWANG kutipkan bagi para pembaca, untuk
memberikan gambaran lebih jelasnya:
“Ada sama dimakan, tidak ada sama ditahan. Dalam keadaan apapun
baik senang dan susah, dirasakan bersama-sama.”
Namun ada juga pengecualian,
seperti ketika seorang koruptor ataupun kriminal merasa keberatan disebut
sebagai penjahat, keberatan dilarang kembali dipilih dalam pemilihan umum
kepala daerah, atau bahkan menuntut “pencemaran nama baik” sekalipun betul
dirinya adalah seorang kriminal. Itu adalah sikap “tidak waras” orang-orang “tidak
waras”. Anomali demikian, tidak masuk dalam hitungan, sekalipun jumlahnya tampak
sangat masif khusus teruntuk negeri seperti Indonesia.
Mengapa juga kecerdasan dalam “membaca
situasi” demikian, menjadi penting untuk kita latih—jika memang selama ini
belum kita miliki jenis kecerdasan ini? Penting untuk membekali diri kita
dengan keterampilan “membaca situasi”, dengan penjelasan lewat
peribahasa lainnya yang juga cukup KWANG sukai, yang juga mungkin Sobat sukai,
yakni dengan bunyi sebagai berikut:
“Menumbuk di lesung, menanak di periuk. Meletakkan sesuatu haruslah selalu
pada tempatnya.”
Ibarat kita harus menyiram “bensin”
bila ingin memasak di hutan, namun seseorang yang sedang dalam kondisi “panas” dengan
wajah merah-padam (penuh amarah), menyiramnya dengan “bensin” sama artinya mengajak
berperang dan memprovokasi yang sangat tidak meneduhkan, sebaliknya menambah
besar “api” yang membara. Tidak ada “cara marah yang beradab” bila api ditambah
siraman “bensin” yang disengajakan oleh seseorang lainnya—itu namanya “mencari
penyakit sendiri”, bukan begitu? (Baca : menyulut “perang”.)
Sebagai penutup, tips berikut akan
sangat memudahkan kita dalam berlatih mengasah empati (perhatikan, tidak semua
orang dibekali bakat bawaan sejak lahir untuk mampu berempati terhadap orang
lain, karenanya perlu diajarkan, ditumbuhkan, diasah, serta kita latih sendiri
untuk mampu peka terhadap perasaan orang lain di sekitar kita), lewat
peribahasa yang paling KWANG sukai, yang pastinya juga akan Sobat sukai, yakni
berbunyi sebagai berikut:
“Mencubit paha sendiri, barulah paha orang lain. Rasakan sendiri
sakitnya sebelum menyakiti orang lain.”
Kita tidak akan pernah tahu
rasa buah “kebombong” sebelum mencicipinya sendiri. Enak atau tidaknya, hanya
boleh kita komentari setelah mencicipi sendiri buah “kebombong”. Sebelum dan
selama kita belum pernah mencicipi langsung dengan lidah kita sendiri buah “kebombong”
ini, maka jagalah lidah kita, simpanlah kata-kata kita, dan janganlah
berkomentar, terlebih menghakimi orang lain yang telah mencicipi langsung buah “kebombong”
ini.
Karena KWANG EARRINGS
adalah teman terbaik mu! 😊
0 comments
Ikuti juga sosial media kami pada business.facebook, dengan akun : "Expat 2 Local Thai" / @guideriana
Rincian layanan JasTip (Jasa Titip) produk Thailand, dapat dilihat pada menu "Jasa Pencarian, Jasa Titip, dan Pengiriman Produk Thailand ke Indonesia".
Rincian layanan Private Tour Guide di Bangkok-Thailand, dapat dilihat pada menu "Private Tour Guide Riana".
NOTE REDAKSI : Seluruh info kontak dalam website ini diperuntukkan khusus untuk tujuan pemesanan dan bagi pengguna jasa layanan yang kami tawarkan dalam website ini. Menghubungi kami diluar peruntukan tersebut, dimaknai sebagai menyalah-gunakan nomor / email kontak kerja profesi kami, tidak akan ditanggapi.
Mohon kesediaan menunggu sejenak bila belum ada tanggapan secara segera, karena faktor kesibukan atau karena lain sebab. Pemesanan akan kami respons sesegera yang kami mampu.
Konsumen / pengguna jasa dapat melakukan pemesanan pada nomor kontak / email yang tercantum dalam menu "HUBUNGI KAMI" atau pada rincian "contact person" di atas, bukan pada kolom komentar pada posting website.
Kami tunggu pesanan teman-teman sekalian dimana pun berada, akan kami kirimkan pesanan Anda dengan hati yang penuh kehangatan untuk Anda atau untuk buah hati dan keluarga yang Anda kasihi.
Salam hangat dari Bangkok, Thailand.
ttd
GUIDE RIANA & REMEMBERTHAI TEAM