By SHIETRA - January 26, 2020
Kejujuran, ketulusan, maupun kebaikan hati, haruslah bersifat kedua
belah pihak, alias bertimbal-balik dua arah, tidak bisa timpang sebelah. Bahasa sederhananya, asas
resiprositas atau asas resiprokal, yakni asas bertimbal-balik itu sendiri,
tidak bisa tidak harus seimbang, tidak bisa timpang sebelah salah satu
pihak.
Dahulu kala, saat KWANG masih
seorang mahasiswa di bangku salah satu universitas di Indonesia, mendapati
tugas dosen perkuliahan, KWANG harus mendatangi instansi pemerintahan untuk
menghimpun dokumen yang sejatinya bersifat dokumen milik publik alias dalam
rangka keterbukaan informasi.
Namun, ketika seorang pejabat instansi
pemerintahan tersebut menanyakan “Berapa
jumlah mahasiswa anggota kelompok tugas kuliah kamu ini?” KWANG menjawab
jujur apa adanya, “Ada 5 orang.”
Setelah itu sang pejabat kembali mengatakan, “Berarti biaya fotokopi senilai Rp. ... ini masing-masing bisa ‘patungan’
(urun-biaya) Rp. ... , tidak berat jika harga begitu.”
Loh, KWANG sudah berkata
jujur kok jadi bumerang bagi diri KWANG sendiri? tipe orang Indonesia satu ini
lucu sekali, terhadap orang lain yang berkata jujur, bukannya dihargai, justru
dijadikan ajang “aji mumpung” untuk memeras dan memungut “pungutan liar”
secara lebih besar nilai nominalnya ketimbang jika KWANG hanya mengaku anggota
kelompok hanya sekadar dua orang ketimbang berkata jujur 5 orang anggota
kelompok.
Rupanya, sebagai pelajaran paling
berharga dari pengalaman buruk ini, bersikap jujur hanya membuat diri kita
menjadi rentan dijadikan “mangsa empuk” alias “sapi perahan” oleh orang-orang yang
tidak jujur.
Rupanya juga, di Indonesia,
berkata jujur dapat menjadikan diri kita rawan dijadikan “mangsa empuk” oleh
orang-orang korup yang senang “memangsa” orang-orang jujur. Dengan kata lain,
bersikap jujur hanya akan menjadikan kita rentan dijadikan “sapi perahan” di
mata orang-orang yang tidak jujur. Karenanya, kejujuran hanya bisa dan hanya
layak dilakukan secara dua arah, dimana masing-masing pihak saling berkata
jujur dan saling menghormati satu sama lain.
Menghormati orang lain, namun
orang lain tersebut hanya pandai melecehkan kita, maka, apakah kita masih perlu
untuk menaruh hormat dan menghargai orang lain demikian semacam itu? Sekali
lagi, dalam segala hal, entah itu bersikap baik hati, jujur, maupun sikap
hormat, hanya dapat kita lakukan bila kedua belah pihak saling menampilkan
sikap perilaku yang sama terhadap kita—bertimbal-balik, tidak bisa timpang
hanya salah satu pihak, itulah sumber harmoni, kesadaran seluruh pihak untuk mampu
memahami kata : “saling”. Jika peringatan ini tidak kita waspadai betul-betul,
maka siap-siaplah kita akan dimanipulasi, dieksploitasi, diperdaya, dibodohi,
diperalat, serta disalah-gunakan.
Semisal lainnya, ketika kita hendak
berbuat kebaikan kepada orang lain, tanpa mau melihat “bibit-bebet-bobot” orang
tersebut, sama artinya kita hanya “buang-buang uang” dan “buang-buang waktu”.
KWANG pernah memberi donasi dengan nominal cukup besar kepada seseorang yang
mengaku butuh biaya berobat, ternyata dikemudian hari baru ketahuan karakternya
buruk dan penuh cacat cela yang tidak bisa ditolerir, maka itu sama artinya
KWANG telah “buang-buang uang” sekalipun niat mulanya baik, yang pada
gilirannya menyesal sendiri.
Semisal lainnya, banyak kita
jumpai permintaan donasi-donasi di jalanan, namun bila ternyata si penerima
dana atau di peminta donasi bukanlah orang-orang yang baik dan mulia hatinya,
itu sama artinya kita masuk dalam perangkap mereka dan sekali lagi, hanya
“buang-buang uang” belaka.
Banyak perusahaan besar yang
membungkus kemasan marketing produk mereka dengan iming-iming “konsumen membeli produk kami artinya turut
berdonasi untuk orang miskin tidak mampu”. Rasanya cukup “konyol”, berdana
bagi perusahaan komersiel yang jelas-jelas sedang mencari profit laba usaha. Jika
mau berdana, berdanalah kepada pihak yang benar-benar membutuhkan secara
langsung tanpa lewat perantara perusahaan-perusahaan komersiel demikian yang
mencampur-aduk antara kegiatan komersiel dengan menyaru menyerupai lembaga
yayasan non-profit sebagai strategi dagang agar penjualannya laku di pasaran.
Pernah juga terjadi, KWANG
kerap menolong seseorang yang mulanya KWANG kira sebagai seorang sahabat.
Setelah sekian banyak KWANG memberi pertolongan secara tulus bagi
kepentingannya, dan dikemudian hari KWANG membutuhkan pertolongan yang hanya “sepele”
darinya (bukan bermaksud mengharap pamrih, namun adalah wajar balik meminta
bantuan dikala membutuhkan sesuai asas resiprositas sebagaimana kita bahas
bersama sebelumnya di atas), namun inilah yang kemudian menjadi tanggapan dari
yang bersangkutan, “Dulu kamu bantu saya dengan
senang hati kemauan kamu sendiri, maka saya tidak punya hutang budi apapun.”
Dirinya yang tempo hari meminta-minta
bantuan dari KWANG, namun kini dirinya justru “bersilat lidah”, membalas “air
susu dengan air tuba”. Baiklah, jika begitu, mulai saat kini mari kita urus
urusan kita sendiri masing-masing. Dirinya memang tidak layak dibantu, selama
ini berarti KWANG hanya membuang-buang energi dan waktu baginya. Anggap saja
ini sebagai ujian dari KWANG terhadap karakter yang bersangkutan, setidaknya
kini KWANG menjadi tahu bahwa dirinya untuk seterusnya tidak layak serta tidak perlu
lagi ditolong maupun dibantu sekalipun dirinya memohon bantuan dari KWANG.
Orang yang “kikir” hatinya, tidak perlu dibantu dan tidak layak mendapat
pertolongan, karena mereka tidak akan mengenal kata puas serta tidak tahu
berterima-kasih.
Hal ini ibarat seorang ahli
fisika maupun ilmu matematika, ketika berbicara dengan orang-orang yang tidak
mengerti ilmu eksakta demikian, maka dapat dipastikan “tidak akan nyambung” isi
percakapannya. Untuk bisa ter-connect,
maka kedua belah pihak harus tersambung dalam “frekuensi” yang sama. Mirip seperti
gelombang radio, untuk bisa mendengarkan siaran radio, antara perangkat radio
pendengar dan pihak stasiun penyiar radio harus saling terhubung dalam “frekuensi”
yang sama.
Tidak terkecuali, untuk memiliki
kepala negara atau pemimpin yang baik, terlebih dahulu rakyat harus menjadi
warga yang baik maka barulah layak memiliki pemimpin yang baik—karena sang pemimpin
juga dipilih dari tengah-tengah masyarakat. Sebaliknya, untuk bisa memiliki
rakyat yang baik, maka pemimpinnya yang juga harus bersikap baik untuk
memberikan teladan serta inspirasi bagi rakyatnya untuk turut saling bersikap
baik.
Mitos “raja adil” ataupun “ratu
adil”, tidak akan pernah terwujud sepanjang bila masyarakatnya itu sendiri belum
benar-benar “adil”. Sama seperti pepatah yang menyebutkan, “Ketika murid siap, maka guru akan siap dan
tampil secara sendirinya.” Namun, yang mungkin lebih tepat ialah : “Guru dan murid harus sama-sama saling
siap, barulah ada mekanisme belajar antara guru dan murid.”
Sama juga, untuk terjadinya
kesepakatan antara penjual dan pihak pembeli, maka harus ada kesesuaian
kehendak antara pihak penjual yang hendak menjual dan pihak pembeli yang hendak
membeli. Bila yang terjadi ialah tiada kata sepakat dari kedua belah pihak (“saling
bersepakat”, maka itu artinya “pemaksaan” atau terjadi kekeliruan atas objek
yang hendak dibeli oleh konsumen.
Mungkin satu kata yang dapat
mewakilinya, ialah kata “selaras”. Lawan kata dari “keselarasan” ialah “ketimpangan”.
Kata tersebut KWANG pinjam dari nasehat Master Shih Cheng Yen, pendiri Yayasan
Buddha Tzu Chi, yang menggunakan istilah “serasi”:
“Kesederhanaan adalah keindahan, keserasiaan adalah keanggunan.”
Dunia ini akan indah serta
damai, bilamana semua penghuninya dapat saling menghargai dan dapat saling
menghormati. Makna kata “saling” disini, bermakna “satu sama lain” alias
bertimbal-balik itu sendiri, tidak timpang sebelah. “Saling” mengasihi. “Saling”
berbuat baik. “Saling” menyayangi. “Saling” memberi toleransi. “Saling” berbagi.
“Saling” menjaga. “Saling” memaafkan. “Saling” merawat.
Karenanya, harmoni hanya
mungkin tercapai bila kita memahami betul makna dibalik kata “saling”, yang
akan KWANG kutipkan selengkapnya kutipan ceramah Master Shih Cheng Yen,
sebagaimana berikut:
“Merupakan suatu berkah, apabila sesama manusia dapat saling
menghargai dan saling bersyukur.”
Mengapa orang-orang jahat,
selalu adalah orang yang “egois”? Orang-orang jahat, merasa berhak untuk
merugikan orang lain, namun dirinya sendiri tidak mau dirugikan oleh korbannya
maupun oleh orang lain. Semestinya, orang jahat harus bersedia “saling”
dirugikan ketika dirinya sendiri merugikan orang lain, yakni dihukum balik oleh
korbannya atau setidaknya bertanggung-jawab membayar ganti-rugi, atau bahkan
secara inisiatif pribadi meminta polisi untuk menjebloskan dirinya ke penjara
untuk menebus “dosa” agar setimpal dan seimbang sesuai makna kata “saling”.
Bersikap penuh toleransi dan “tenggang
rasa” itu baik, sepanjang komunitas hidup kita juga memiliki toleransi dan “tenggang
rasa” terhadap kita, sehingga menjelma harmoni “saling ber-tenggang rasa”.
Selengkapnya dapat kita simak kutipan kalimat bijak berikut dari Master Shih
Cheng Yen:
“Kita hendaknya dapat hidup bermasyarakat dengan saling
tenggang rasa, namun jangan hanya ikut-ikutan tanpa memiliki pendirian.”
Seorang guru, sebelum mendidik
orang lain yakni peserta didiknya, terlebih dahulu ia harus menjadi seorang terpelajar
yakni dididik oleh orang lain ketika dirinya muda. Tanpa kemauan dididik, maka
seseorang tidak pernah punya kemampuan untuk mendidik orang lain.
Sama halnya, seseorang yang
buruk perangainya, tidak pernah patut menasehati orang lain, karena perangainya
sendiri buruk adanya. Jika seseorang hanya mau “menang” tanpa mau mengakui
kesalahannya, itulah yang disebut dengan “mau menang sendiri”. Kompetisi
artinya “saling” bertanding, yang maknanya sama-sama punya hak untuk menang.
Sama juga, disebut “sportivitas”
artinya, seseorang terbuka dinyatakan oleh juri dan hakim sebagai pihak yang “menang”
dan terbuka juga untuk dinyatakan sebagai pihak yang “kalah” dalam suatu
kompetisi. Kita harus mau “saling” mengakui, bukan hanya mau diakui dan
dihargai tanpa pernah mau mengakui dan memberi penghargaan terhadap orang lain.
Karenanya, mereka yang tidak
siap dikalahkan, jangan pernah naik ke atas “ring tinju” bernama dunia sosial
dan komunitas hidup bersosial, yakni : JANGAN PERNAH MENGGANGGU SESEORANG YANG TIDAK PERNAH MENGGANGGU TETANGGA ATAUPUN ORANG LAIN. Sungguh tidak nyaman bukan, hidup satu komunitas
dengan orang-orang yang egois “mau menang sendiri”? Sebagai penutup, tepat
kiranya KWANG mengutipkan pepatah indah sebagai berikut:
“Pemenang mengikuti filosofi empati : ‘Jangan lakukan terhadap orang lain
apa yang Anda tidak ingin mereka lakukan terhadap Anda’. Sementara sang
Pecundang mengikuti filosofi, ‘Lakukan terhadap orang lain sebelum mereka
melakukannya terhadap Anda.’” (Anonim)
Karena KWANG EARRINGS
adalah teman terbaik mu! 😊
0 comments
Ikuti juga sosial media kami pada business.facebook, dengan akun : "Expat 2 Local Thai" / @guideriana
Rincian layanan JasTip (Jasa Titip) produk Thailand, dapat dilihat pada menu "Jasa Pencarian, Jasa Titip, dan Pengiriman Produk Thailand ke Indonesia".
Rincian layanan Private Tour Guide di Bangkok-Thailand, dapat dilihat pada menu "Private Tour Guide Riana".
NOTE REDAKSI : Seluruh info kontak dalam website ini diperuntukkan khusus untuk tujuan pemesanan dan bagi pengguna jasa layanan yang kami tawarkan dalam website ini. Menghubungi kami diluar peruntukan tersebut, dimaknai sebagai menyalah-gunakan nomor / email kontak kerja profesi kami, tidak akan ditanggapi.
Mohon kesediaan menunggu sejenak bila belum ada tanggapan secara segera, karena faktor kesibukan atau karena lain sebab. Pemesanan akan kami respons sesegera yang kami mampu.
Konsumen / pengguna jasa dapat melakukan pemesanan pada nomor kontak / email yang tercantum dalam menu "HUBUNGI KAMI" atau pada rincian "contact person" di atas, bukan pada kolom komentar pada posting website.
Kami tunggu pesanan teman-teman sekalian dimana pun berada, akan kami kirimkan pesanan Anda dengan hati yang penuh kehangatan untuk Anda atau untuk buah hati dan keluarga yang Anda kasihi.
Salam hangat dari Bangkok, Thailand.
ttd
GUIDE RIANA & REMEMBERTHAI TEAM